Warta

Dua Gerhana Berbarengan Bukan Hal Istimewa

Ahad, 16 November 2003 | 17:56 WIB

Jakarta, NU.Online
Di kalangan astronom, dua gerhana dalam bulan yang sama bukanlah hal istimewa. Pada Juli 2000, misalnya, terjadi tiga kali gerhana. Gerhana bulan terjadi dua kali, tanggal 1 dan 31 Juli, sedangkan gerhana matahari pada 16 Juli.

Menuruat direktur Peradilan Agama, Departemen Agama, Wahyu Widiana, gerhana terjadi bila bumi mengelilingi matahari pada satu bidang atau garis edar, di mana bidang yang sama digunakan dalam aktivitas bulan mengelilingi bumi. “Ini mengandung konsekuensi, tiap bulan akan terjadi dua gerhana (bulan dan matahari), terjadi pada awal dan akhir bulan,” katanya.

<>

Jika ekliptika bulan dalam mengitari bumi membentuk sudut 90 derajat, yang terjadi adalah peristiwa normal. Adapun dua gerhana yang terjadi di bulan Ramadhan ini memiliki kondisi di mana bidang antara peredaran bumi mengelilingi matahari dan peredaran bulan mengelilingi bumi berimpit, kemiringan bidang edarnya hanya 5 derajat. “Dan ini adalah fenomena yang sering terjadi,” tutur Wahyu.

Dalam abad ke-20, sepanjang 1901-2000 M, terjadi 228 gerhana matahari dan 147 gerhana bulan. Rata-rata gerhana terjadi empat kali dalam setahun. Pada 2003 ini, gerhana bulan total terjadi pada 16 Mei dan 9 November, sedangkan gerhana matahari cincin terjadi pada 31 Mei dan gerhana matahari total pada 24 November.

Lalu, bagaimana orang menginterpretasikan dua gerhana di bulan Ramadhan ini? KH Fahmi Basya punya interpretasi yang ditambatkan pada Al-Quran. Menurut kiai yang pernah menjadi aktivis pada 1970-an ini, kata kuncinya adalah ahad (esa/satu). Dari peristiwa tersebut, masih kata peneliti di Pusat Studi Islam dan Kepurbakalaan, Jakarta, itu, Allah kembali mendeklarasikan ahad kepada umat manusia. “Karena, dulu kebangkitan Islam dari kata ahad, yaitu ketika Bilal memproklamasikan kata ahad. Itulah yang mendorong kebangkitan umat,” ujarnya.

Fahmi sampai pada kesimpulan itu setelah menghubungkan antara waktu peristiwa dua gerhana dan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan “yaumul qiyamah” (surah Al-Qiyamah ayat 6-9). Yang dimaksud “yaumul qiyamah” bukan “hari kiamat” sebagaimana kerap diterjemahkan, melainkan “hari segaris lurus”. Sedangkan terjemahan untuk hari kiamat dalam bahasa Arab, menurut Fahmi, adalah “as-saa’ah”.

Adapun dua gerhana yang terjadi pada bulan Ramadhan ini menunjuk ke ahad (satu). Gerhana bulan pada 9 November (14 Ramadhan 1424) terjadi pada hari Ahad. Gerhana matahari pada 23 November (28 Ramadhan 1424) juga terjadi pada hari Ahad.

Fahmi tak melihat fenomena ini sebagai pertanda mendekatnya kehidupan manusia dengan hari kiamat. Qiyamah sebagai garis lurus, dan ternyata fenomena gerhana itu ada di surah Qiyamah. Bulan jadi gelap, dikumpulkan bulan dengan matahari, terjadilah gerhana.

Menurut Fahmi, selama ini penafsiran umat Islam sudah kelewatan. “Karena konsentrasinya ‘qiyamah’ itu bencana hebat. Padahal, bisa jadi, maknanya sesuatu yang lurus,” tuturnya. “Semua itu ternyata ada dalam Al-Quran,” ia menjelaskan. Fahmi menyosialisasikannya lewat pengajian internet. Jamaahnya mencapai 600 orang, dan mendapat respons dari berbagai wilayah, termasuk Malaysia. (cih/disadur dari majalah Gatra edisi 1/14-11)