Warta

FSPI Menolak Tegas Impor Beras

Rabu, 7 Desember 2005 | 11:40 WIB

Jakarta, NU Online
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) menolak tegas kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah. Sikap penolakan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal FSPI, Henry Saragih di kantornya Jakarta Selatan, Selasa (7/12) kemarin.

Ia menilai kebijakan impor beras itu jelas akan menyengsarakan petani Indonesia. “Harga beras impor itu kan lebih murah. Sedangkan harga beras milik petani kita lebih mahal. Tidak mungkin kan kita mau beli yang lebih mahal. Kalau begitu, terus bagaimana nasib petani kita”, terangnya.

<>

Kebijakan itu, kata Henry—demikian panggilan akrabnya—tidak terlepas dari peran World Trade Organization (WTO). Indonesia sebagai negara anggotanya tidak diperbolehkan untuk menolak kebijakan impor itu. Jika tidak, Indonesia akan ditegur oleh WTO dan bisa dibawa ke pengadilan WTO.

Menurut Henry, unsur adanya kepentingan pihak asing pada kebijakan impor itu sangat kelihatan sekali. Indonesia mengimpor beras dari Thailand dengan jumlah 70 ribu ton. Jumlah itu bagi Henry sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan akan beras secara nasional.

Selain itu, ungkap Henry, Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai sebuah institusi yang berwenang mengenai urusan beras sebenarnya mempunyai semacam aturan dalam hal persediaan (stok), yakni stok besi atau stok. Stok besi ini artinya bahwa Bulog harus mempunyai persediaan beras yang mencukupi atas kebutuhan secara nasional.

Dari realitas itu saja, kata Henry, jelas sekali pemerintah tidak mempunyai kuasa untuk menolak kebijakan impor beras. Pemerintah Indonesia selalu mementingkan pihak asing dan tidak pernah membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil.

Ditanya tentang kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika kebijakan impor beras ini diteruskan, Henry mengatakan bahwa rakyat, dalam hal ini khususnya petani tidak pernah nyaman hidupnya. Dengan kebijakan itu, penderitaan rakyat menjadi berlipat-lipat.

Jika dibandingkan dengan kahidupan petani di Korea Selatan, jauh sekali perbedaannya. Meski akhir-akhir ini petani melakukan unjuk rasa besar-besaran menolak impor beras, namun infrastruktur dan suprastruktur di sana sudah mapan. Di Korea Selatan, kata Henry sudah menerapkan land reform (reformasi agraria).

Tanah, di Korea Selatan tidak menjadi milik orang-perorangan. Tapi ada yang dikuasai oleh negara, ada yang menjadi tanah adat, ada pula yang disewakan kepada petani. Selain itu juga banyak muncul koperasi-koperasi petani yang itu perannya begitu besar bagi kehidupan petani.

Berbeda dengan di Indonesia. Petani Indonesia banyak yang tidak punya tanah, tanah menjadi terkonsentrasi pada segelintir orang saja. Belum lagi perusahaan-perusahan, baik asing maupun lokal yang juga memiliki tanah yang didapat dari membeli tanah petani sebelumnya.

Demikian juga dengan harga pupuk yang mahal, harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Banyak petani kita yang awalnya memiliki tanah berubah menjadi buruh tani. Bagi yang tidak lagi berharap pada pertanian akhirnya menjadi buruh urban. Menjadi buruh pada pabrik-pabrik besar di kota.

“Bagaimana kalau sudah kayak gitu, sebelum ada impor beras itu petani kita sudah susah. Dan sekarang ada impor beras, tambah susah lagi. Ya, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pokoknya berlipat-lipat lah penderitaan petani kita,” jelas Henry.(rif)