Warta

Hasyim: UUD Hasil Amandemen Perlu Ditinjau Kembali

Kamis, 3 Agustus 2006 | 07:00 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Hasyim Muzadi memandang perlu ada peninjauan kembali apakah amandemen UUD beranjak dari kebutuhan mendesak dan berdampak baik dalam memperbaiki kondisi bangsa.

Hal tersebut dikatakan Hasyim sebagai kesepakatan dari Munas Alim Ulama di Surabaya (27-30 Juli) lalu. UUD yang telah diamandemen dinilai justru memunculkan banyak masalah. Kalangan nasionalis, termasuk dari NU, menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 yang asli atau sebelum diamandemen.

<>

“Di setiap negera pasti dalam kurun tertentu ada perubahan. Namun perlu direview apakah amandemen itu memang kebutuhan yang mendesak dan tidak terelakkan atau baru merupakan kemauan-kemauan yang diakomodasi,” kata Hasyim kepada NU Online di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (3/8).

Hasim mencontohkan, ada anggapan UUD 45 terlalu ketat sehingga kekuasan utama berada di bawah eksekutif, menjadikan pemerintahan yang sentralistik. Namun, perlu direview sebenarnya kesalahan terletak pada UUD atau aturan perundang-undangan lain sebagai pelaksana UUD.

“Mengapa Pak Harto terpilih selama 6 kali itu apakah kerena UUD atau UU politiknya? Di mana ketika itu DPR plus daerah adalah MPR atau lembaga tertinggi yang terkooptasi oleh kekuatan eksekutif dengan masuknya tentara, dan tentara ini kemudian bikin Golkar. Nah, kemudian ini bersatu dengan PNS (Korpri) baru masyarakat sebagai alat legalisasi. Dalam kondisi yang disebutkan barusan presiden pasti bisa semaunya sendiri,” kata Hasyim.

Dirinya mempertanyakan apakah sentralisme, misalnya, disebabkan karena UU atau UUD. “Dulu Bung Karno memakai UUD 45 tapi jadinya revolusi, ada nasakom segala macem. Lalu ganti Pak Harto yang menerapkan UUD secara murni dan konsekuen tapi jadinya malah sentralisasi militerisasi dan sebagainya, Jadi sebenarnya kesalahannya dimana,” katanya.

Dikatakannya PBNU tidak apriori menolak amandemen, atau menyetujuinya. Beberapa poin amandemen dimungkinkan berdampak baik, namun yang lainnya justru menjadi biang kerok kerunitan negeri ini pascareformasi.  “Jadi istilah saya perlu perenungan kembali,” kata Hasyim. (nam)