Warta

Hewan pun Berpuasa untuk Capai Cita-citanya

Senin, 9 Oktober 2006 | 03:28 WIB

Khartoum, NU Online
Selain meningkatkan keimanan dan kepekaan sosial, berpuasa juga penting untuk meningkatkan derajat atau kualitas seseorang. Kegiatan menahan serta mengendalikan diri dari hawa nafsu dan perilaku negatif itu ternyata tidak hanya dilakukan oleh manusia, melainkan juga hewan.

“Ulat yang ingin terbang, mula-mula ia harus puasa dulu kemudian menjadi kepompong. Baru setelah melewati puasa kemudian menjadi kupu-kupu yang berterbangan. Ini contoh ulat yang ingin terbang, manusia pun harus puasa,” terang HM Badrussalam Shof, Mustasyar Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan.

<>

Kang Badrus, demikian panggilan akrab HM Badrussalam Shof, menyampaikan hal itu saat menjadi penceramah pada pengajian rutin komunitas masyarakat Indonesia di Sudan, yang digelar di ruang serbaguna Kedutaan Besar Republik Indonesia di Khartoum, Jum’at (06/10) lalu. Pengajian tersebut dikelola oleh Lembaga Dawah PCINU Sudan.

Selain Kang Badrus, hadir juga pada pengajian yang mengangkat tema “Puasa, Cara Efektif Melatih Cinta” itu sejumlah petinggi PCINU Sudan, Afifullah Rifai Lc (Rois Syuriah), Gus Ali Zamroni (Katib Syuriah) dan Gus Shohib (Ketua Tanfidziyah).

Menurut Kang Badrus, puasa juga merupakan salah satu acara efektif melatih cinta. Ada sejenis kaidah jiwa, terangnya, bahwa cinta timbul dari rasa sakit. Di situlah yang katanya letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa.

“Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia,” urai Kang Badrus.

“Adakah cara lain yang paling efektif untuk melatih cinta?” tanya Kang Badrus. “Bukankah kita tahu, imbuhnya, bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait; yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.”

Dijelaskannya, jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai 'sang mesias', juru selamat.

Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta-merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus. (nus)