Warta

Patung Wanita Bugil di Istana Bogor Dipakaikan Busana Arab

NU Online  ·  Jumat, 6 April 2007 | 04:08 WIB

Bogor, NU Online
Selama berlangsungya konferensi untuk rekonsiliasi sunni-syiah, patung-patung wanita bugil di Istana Bogor koleksi Presiden RI pertama Soekarno atau Bung Karno, dikenakan busana.

"Pakaiannya kayak busana wanita Arab ya, hanya saja tidak berjilbab," kata seorang wartawati asing yang meliput Konferensi Pemimpin Ulama Islam Internasional Untuk Rekonsiliasi di Irak yang berlangsung di Istana Bogor pada 3-4 April lalu.

<>

Seorang pelayan Istana Bogor mengatakan, patung-patung wanita itu sengaja dipakaikan busana untuk menghormati para tamu ulama yang menghadiri konferensi tersebut.

Sebanyak 25 pemimpin ulama dari delapan negara Timur Tengah menghadiri konferensi itu yang menelorkan "Deklarasi Bogor" yang intinya mengupayakan penyelesaian konflik berdarah di Irak.

"Biasanya patung-patung wanita bugil itu dibiarkan seadanya. Namun, mungkin demi menghormati tamu para ulama, patung-patung itu dibusanakan," kata Pak Ato, salah seorang pelayan Istana Bogor.

Menurut Pak Ato, di dalam gedung dan di taman Istana memang terdapat puluhan belasan patung wanita bugil yang dikoleksi oleh Bung Karno.

Di pintu masuk utama Istana, misalnya, tampak dua patung wanita bule yang dipajang mengapit pintu berpermadani merah itu.

Di lorong-lorong antarruang dan kamar dalam Istana, terpampang  patung-patung khas. Ada patung wanita yang bertelanjang dada, ada pula patung yang ’tembus pandang’ sekujur tubuh.

Patung-patung itu beragam warna kulit dan wajah, mencakup bule, Indonesia, China, dan India. Berbeda dengan di dalam Istana, patung-patung wanita yang dipajang di taman kompleks Istana dibiarkan tak berbusana.

Taman di belakang Istana, misalnya, tampak beberapa buah patung wanita berwajah Indonesia, bule, dan ’tembus pandang’. Sebuah patung menyerupai seorang sedang menyusui anaknya, dan di sebelahnya terdapat patung wanita setengah baya lagi duduk memandang kolam di hamparan taman hijah sepanjang mata memandang.

Istana Bogor mulanya dibangun sekitar tahun 1744, yang di masa Hindia Belanda bernama Buitenzorg atau Sans Souci yang bermakna "tanpa kekhawatiran".

Adalah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff pada 1744 dilaporkan terkesima menyaksikan sebuah kampung kecil di Bogor, sebuah wilayah bekas Kerajaan Pajajaran.

Mulanya, Van Imhoff berencana membangun wilayah tersebut sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Pada Agustus 1744 dibangunlah sebuah gedung megah berlantai tiga, mengadopsi arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat Kota Oxford di Inggris.

Hingga tahun 1942, Istana Bogor setidaknya menjadi tempat kediaman resmi bagi 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal Inggris.

Celakanya, gempa bumi dahsyat pada 10 Oktober 1834 akibat meletusnya Gunung Salak yang membuat gedung megah itu rata dengan tanah. Gubernur Herman Willem Daendels membangun kembali Istana Bogor, dan seiring dengan waktu, telah berubah-ubah hingga bentuknya yang sekarang seluas 14.892 meter persegi dengan luas total halaman hijaunya mencapai 28,4 hektar.

Di masa kemerdekaan, Presiden Soekarno pada 1950, mengambil alih istana itu dan secara resmi menjadikan salah satu dari Istana Kepresidenan.

Istana tersebut kerap digunakan sebagai tempat konferensi internasional, termasuk di antaranya Konferensi Tingkat Tinggi APEC pada 1996, menyusul pertemuan tahunan menteri ekonomi APEC pada 1994.

Presiden Amerika Serikat George W. Bush pun tidak mau ketinggalan memilih Istana Bogor sebagai tempat kunjungan resmi ke Indonesia selama enam jam pada  20 November 2006. (ant/mad)