Warta

PBNU: Presiden Jangan Teken Inpres Perlindungan Pejabat

Sabtu, 8 Juli 2006 | 03:49 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebaiknya agar tidak menandatangani instruksi presiden (inpres) perlindungan pejabat terkait kasus korupsi yang saat ini tengah digodok Depdagri. Karena hal itu dikhawatirkan akan menghambat gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Koordinator Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Nahdlatul Ulama (GNPK-NU), Saiful Bahri Anshori mengatakan, presiden SBY harus konsisten memegang teguh inpres tentang percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia yang pernah dikeluarkannya. Jika Inpres perlindungan pejabat jadi dikeluarkan, besar kemungkian akan menghambat semangat yang ada pada inpres percepatan pemberantasan korupsi itu.

<>

”Jadi, biar saja kalau Mendagri ngotot membuat inpres itu, namun nantinya presiden jangan sampai meneken inpres itu kalau tidak ingin gerakan antikorupsi menjadi rusak,” kata Saiful yang juga Wakil Sekjen PBNU kepada NU Online di sela-sela acara peluncuran film antikorupsi "Cermin” yang menceritakan langkah NU memberantas korupsi, di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jum’at (7/7), kemarin.

Ditambahkanya, kasus korupsi di Indonesia yang sudah sedemikian parah, perlu dianggap sebagai kasus 'ekstraordinary' yang memerlukan penanganan luar biasa. Bahkan, jika diperlukan, aturan tentang perlunya izin presiden untuk memeriksa pejabat yang tersangkut kasus dugaan korupsi dihapuskan atau tidak diberlakukan. ”Bila perlu, izin presiden itu dicabut,” ungkapnya.
 
Gagasan Mendagri untuk membuat inpres perlindungan pejabat, katanya, merupakan langkah mundur di saat presiden menggiatkan gerakan antikorupsi. Sebaiknya pemerintah justru melakukan penguatan terhadap institusi-institusi yang menjadi ujung tombak penanganan korupsi seperti KPK, Kejaksaan, Polri dan BPK.
 
”Itu omong kosong, jika pemberantasan korupsi dilakukan dari dalam. Dulu kita mempunyai apa yang disebut pengawasan melekat. Namun nyatanya tidak berjalan karena si pengawas sendiri justru merupakan pihak-pihak yang perlu diawasi dengan ketat,” katanya.
 
Alasan Depdagri membuat inpres untuk melindungi pejabat dari kemungkinan fitnah korupsi dinilainya sangat mengada-ada. Jika para pejabat mengerti dan mematuhi hukum, lanjutnya, maka tidak diperlukan lagi perlindungan semacam inpres tersebut.

Mantan Ketua Umum PB PMII itu menambahkan, reformasi birokrasi yang saat ini dijalankan pemerintah belum sepenuhnya berjalan optimal. Oleh karena itu, jika inpres yang dibahas Depdagri dikeluarkan, maka reformasi tersebut bisa berantakan. ”Sebenarnya yang paling parah itu di jajaran birokrasi. Jika inpres ini sampai dikeluarkan, maka reformasi birokrasi akan buyar semuanya,” katanya. (rif)