Warta

Pemimpin Ahmadiyah Temui Hasyim, Desak Pemerintah Lindungi Jamaahnya

Selasa, 8 Januari 2008 | 09:56 WIB

Jakarta, NU Online
Pemimpin tertinggi atau Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Abdul Basyit, menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Selasa (8/1). Ia meminta NU bisa mendesak pemerintah agar melindungi jamaahnya sebagaimana warga negara yang lain.

"Kami meminta bantuan Pak Hasyim dan PBNU agar pemerintah bisa bertindak tegas dan mau melindungi warga negaranya sebagai kewajiban konstitusi," kata Abdul Basyit didampingi sejumlah pengikutnya.<>

Dalam pertemuan itu, turut bersamanya, Ketua Indonesian Conference On Religions and Peace (ICRP) Djohan Effendy dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Baso.

Hasyim meminta kepada pengikut Ahmadiyah agar bisa membawa diri dalam situasi yang kurang menguntungkan saat ini. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu juga menyatakan siap dihubungi kelompok Ahmadiyah bila mereka menemui persoalan.

"Saya siap dihubungi setiap saat, tentunya sebelum ada kejadian, jangan setelah benjut (babak belur, red) baru menghubungi," kata Hasyim yang disambut senyum Abdul Basyit dan semua yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Hasyim menegaskan, dalam hal keyakinan, ia tidak berbeda dengan kelompok yang tidak sepaham dengan Ahmadiyah. Ia mengatakan, "Saya mengerti mereka tidak setuju. Saya juga bisa setuju ketidaksetujuan mereka," katanya.

Namun, Hasyim menyatakan sangat tidak setuju pada tindak kekerasan dan main hakim sendiri yang dilakukan kelompok yang tidak sepaham dengan Ahmadiyah.

"Berbeda pendapat boleh, tapi tidak boleh bertindak sendiri. Persoalan aliran tidak akan dapat diselesaikan dengan kekerasan, tapi harus dengan pencerahan. Jadi, dalam hal ini pendekatan dakwah harus ditingkatkan, bukannya meningkatkan pertikaian," terangnya.

Menurutnya, perbedaan tidak akan pernah selesai sehingga yang harus dibangun adalah cara mengelola perbedaan sehingga tidak mengakibatkan konflik dan kekerasan dengan berdasar pada penghormatan terhadap hak individu dan hak warga negara.

Masyarakat, katanya, harus bisa memilah kesalahan kelompok masyarakat lain. Jika kesalahannya menyangkut hukum dan konstitusi, maka aparat negara yang harus bertindak. Namun, jika kesalahan menyangkut persoalan agama, penanganan harus dilakukan tokoh agama dan aparat negara.

"Tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Karena itu saya mengimbau MUI (Majelis Ulama Indonesia) agar bisa bekerja sama dengan aparat negara dan lembaga Pakem (Pengawasan Agama dan Aliran Kepercayaan Masyarakat) jika hendak mengeluarkan fatwa yang bersinggungan dengan masyarakat dan aliran lain," katanya.

Namun, Hasyim kembali menegaskan bahwa kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah kesalahannya tidak dapat ditimpakan pada MUI, karena fatwa pengharaman aliran Ahmadiyah merupakan produk lama "Yang memicu kekerasan adalah demokrasi yang tidak terbatas," tandasnya. (rif)