Warta

Perayaan Tahun Baru Hijriah dan Tuduhan Bid’ah, Sesat

Sabtu, 20 Januari 2007 | 06:52 WIB

Hiroshima, NU Online
Tahun baru Hijriah jelas merupakan salah satu hari istimewa bagi umat Islam. Di Tanah Air, di berbagai belahan Nusantara, bahkan di seluruh dunia Islam, dipanjatkan puji syukur, permohonan ampun, ditambah doa harapan kepada Allah di awal Muharram ini.

Sementara, di beberapa tempat, sekelompok manusia tak henti-hentinya ber-hujjah (menuduh) bid’ah (mengada-ada dalam beribadah), itu bid’ah terhadap umat Islam yang sedang berdoa. Benarkah tuduhan segelintir manusia tersebut dalam mengganggu kekhusyuan ibadah yang dituduhnya dlalalah (sesat) dan masuk neraka itu.

<>

“Adakah seluruh umat Islam di dunia ini telah bersatu dalam kesesatan dan ramai-ramai masuk neraka? Ataukah jangan-jangan yang sibuk menuduh kafir itu yang dijanjikan Rasulullah SAW bakal terkafirkan oleh ucapannya sendiri?” gugat Agus Zainal Arifin, Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Nihon (sebutan lain PCINU Jepang) di Hiroshima, Jepang, Sabtu (20/1)

Sebaiknya, menurut Agus—begitu panggilan akrabnya—pertanyaan-pertanyaan tersebut tak perlu dijawab. “Mari kita kesampingkan saja,” katanya. Saat ini, lanjutnya, yang perlu diketahui adalah apakah ada basis argumentasi bagi amalan tersebut. Sebab, bagi yang tidak mengetahuinya, akan mudah sekali menuduh yang macam-macam.

Baginya, beredarnya masa selama satu tahun yang terdapat 12 bulan di dalamnya adalah juga merupakan salah satu kekuasaan Allah SWT. Dan pada saat berakhirnya tahun tersebut, sudah selayaknya manusia memuji keagaungan-Nya dengan segala pujian dan permohonan ampun.

“Sebagai hamba yang hanya bisa memohon, sudah sepatutnya pula awal tahun ini kita buka dengan bermohon keberhasilan dan kesuksesan segala urusan dunia dan akhirat, agar di tahun yang akan datang senantiasa dipenuhi rahmat dan maghfirah,” ujar dosen Program Studi Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya ini.

Bid’ah dlalalah, sebagaimana yang sering dikatakan adalah secara mutlak semuanya sesat dan ke neraka) adalah mengadakan sesuatu yang baru yang tidak ada alasannya langsung kepada ajaran Islam. “Bagi mereka, bid’ah ini hanya berdefinisi sebagai segala yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW,” ujarnya.

Sangkaan itu, menurutnya, sungguh sangat dhalalah pula, menyesatkan orang yang tidak tahu dan merusak keyakinan orang yang ragu. Sebab, banyak sekali tindakan yang tidak ada riwayatnya, tapi sangat dibutuhkan untuk dikerjakan.

Sayyidina Usman telah mengawali mengkompilasi mushaf (pembukuan) Alquran dan mengadakan adzan Jumat dua kali. Sayyidina Umar telah memulai pengaturan shalat tarawih secara berjamaah. Itulah sebabnya Imam Syafi'i menyebut amalan ini sebagai bid'ah hasanah. Bahkan Imam Nawawi mendefinisikannya hinggal lima level.

“Untuk ini kita menjadi paham, bahwa amalan baru yang tidak ada alasan hukumnya kepada Alquran maupun hadits itulah yang berujung kepada kesesatan. Saat ini internet sudah merambah berbagai lini, sehingga pengajian pun dapat dilangsungkan dengan teleconference. Membaca kitab para ulama pun dapat melalui monitor. Bahkan lantunan Alquran pun—yang jelas-jelas ibadah—dapat dinikmati melalui media audio visual. Semua ini belum pernah diamalkan pada jaman dahulu,” pungkasnya. (rif)