Warta

Pesantren Tak Pernah Diakui Undang Undang

Sabtu, 26 Januari 2008 | 05:50 WIB

Jakarta, NU Online
Sejak Indonesia merdeka, keberadaan pondok pesantren tidak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah. Tidak ada satu pun undang undang yang mengakui keberadaan pesantren.

Demikian sejarawan Agus Sunyoto saat memberikan materi dalam acara Silaturrahim dan Lokakarya dengan Organisasi-organisasi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah se-Indonesia bertema “Menggagas Masa Depan Islam Nusantara” di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (24/1).<>

“Karena itu pesantren tidak mungkin dapat dana pendidikan kecuali didirikan sekolah di situ, minimal madrasah atau schooling system yang diberi nama Islam. Kalau pesantren saja tidak dapat karena tidak diakui,” katanya.

Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Global di Malang Jawa Timur itu, pesantren adalah salah satu bagian yang mempunyai identitas tersendiri. Pesantren masih punya huruf sendiri yang disebut huruf jawi pegon, juga punya sistem penanggalan tersendiri.

“Makanya saya dan temen-temen mendirikan “pesantren global”, tidak sekolah karena pesantrenlah yang masih mepunyai identitas. Kita bikin hal baru dengan tetap mempunyai identitas tapi tidak ketinggalan jaman, makanya memakai istilah global itu,” kata Agus Sunyoto.

Kepada para pemimpin organisasi Al Washliyah, Tarbiyah Islamiyah, Al Khairaat, Mathla'ul Anwar, Nahdlatul Ulama, Darud Dakwah wal Irsyad, dan Nahdlatul Wathan, Agus Sunyoto menyampaikan, Indonesia saat ini sudah kehilangan identitas.

Menurutnya semua hal yang ditampilkan di Indonesia, terutama dalam institusi pendidikan adalah kebudayaan Barat. Padahal bangsa Indonesia tidak pernah bisa seperti Barat.

“Kita ini mengalami apa yang dalam istilah sosiologi disebut anomi. Dengan berkembangan sekolah yang diakui pemerintah itu lihat saja hurufnya Eropa, satuan, angka, kalender, teori sosial, dan sistem pemerintahan, seluruhnya Barat,” katanya.

Agus Sunyoto mengungkapkan, pada saat Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat dan Jepang menyerah tanpa syarat, Kaisar Jepang hanya meminta satu hal, yakni diizinkan menjalankan kebudayaan Jepang.

“Kebudaan Jepang itulah yang dipakai untuk membangun kembali Jepang sampai sekarang. Siapa yang tidak kenal produk budaya jepang. Anak-anak kita semua kenal sama Doraemon, Ultramen, Kura-kura Ninja, dan Sinchan,” katanya. (nam)