Warta

Warga Korban Lapindo Adukan Nasibnya ke PBNU

Selasa, 17 April 2007 | 12:52 WIB

Jakarta, NU Online
Warga Perum Tanggulangin Sejahtera (TAS) I Sidoarjo, Jawa Timur, yang juga korban semburan lumpur panas Lapindo, Selasa (17/4) sore mendatangi Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Mereka mengadukan kepada PBNU tentang nasibnya yang hingga saat ini belum jelas.

Dua perwakilan korban bencana lumpur yang sebelumnya juga turut berunjuk rasa di depan Istana Merdeka itu, Hari Purnomo dan Sukarto, diterima langsung oleh Ketua Umum PBNU Dr KH Hasyim Muzadi. Keduanya menyampaikan keluhan akan sikap pemerintah yang seakan tidak tegas dalam menangani para korban.

<>

Tuntutan warga tentang pembayaran ganti rugi secara tunai langsug (cash and carry) oleh PT Lapindo Brantas, hingga saat ini hanya janji belaka. Padahal, saat ini mereka telah kehilangan segalanya, tidak saja rumah, tapi juga pekerjaan. Karenanya, mereka meminta kepada Hasyim agar membantu menyelesaikan persoalan tersebut.

“Permintaan kami sederhana, ganti rugi sebesar Rp 200 juta itu harus dibayar. Ada sekitar 7500 rumah yang harus mendapat ganti rugi. Pembayaran itu harus jelas tanggal berapa, bulan apa. Jangan cuma janji-janji saja. Kami sudah lama mendapat janji-janji itu, tapi tidak jelas juga,” tegas Hari Purnomo kepada Hasyim.

Purnomo yang juga warga Perum TAS I blok AA7/26 itu menambahkan, penderitaan warga saat ini sangat banyak. Selain kehilangan rumah, mereka juga kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian. Akibatnya, pengangguran pun tak terelakkan. “Tukang-tukang ojek, sekarang sudah tidak bekerja lagi. Saya sendiri juga sudah tidak bekerja,” ujarnya.

Bencana lumpur tersebut, menurutnya, juga telah mengakibatkan tingginya tingkat perceraian. “Seorang istri meninggalkan suaminya, bukan hal asing lagi. Alasannya jelas, suaminya sudah tidak punya pekerjaan dan penghasilan lagi. Belum lagi ada yang jadi gila, di RT kami sudah ada 50 orang yang jadi gila karena lumpur itu,” terangnya.

Kepada Hasyim, Purnomo juga mengungkapkan alasan warga menolak relokasi. Menurutnya, relokasi itu bukan solusi yang tepat, karena tempat yang disiapkan untuk relokasi itu pun tidak jelas. Karenanya, warga meminta ganti rugi secara tunai langsung agar persoalannya menjadi lebih mudah.

“Kata ahli geologi, lumpur itu akan terus menyembur sampai 32 tahun. Nah, kalau lokasinya di sekitar sumber semburan itu, 32 tahun lagi pasti akan kena. Makanya kita minta cash and carry, biarkan kami sendiri yang cari rumah dan penghidupan lainnya,” urai Purnomo.

Dalam kesempatan itu, pria asal Jombang, itu menyesalkan sikap aparat kepolisian yang mencoba menghalang-halangi keinginan warga untuk berangkat dan berunjuk rasa di Jakarta. Menurutnya, aparat terlalu berlebihan.

Sebelumnya, Purnomo bersama 300-an warga lainnya menyerbu Istana Merdeka untuk menemui Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. meski Presiden tidak bersedia menemui, namun semangat warga tidak surut. (rif)