Wawancara

Mendedah Kiprah ISNU

Jumat, 16 Maret 2018 | 06:00 WIB

Mendedah Kiprah ISNU

foto: VIVAnews/Muhamad Solihin

Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) merupakan organisasi badan otonom (banom) termuda yang berada di lingkungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebetulnya, fungsi dan keanggotaan ISNU sudah ada sejak lama, tapi ISNU baru berhasil dibentuk dan dilembagakan tahun 2012, setelah ‘disahkan’ di Muktamar ke-32 NU di Makassar 2010 silam.  

Tahun ini, ISNU memasuki usianya yang ke-6 tahun. Usia yang terbilang muda bagi sebuah organisasi. Tentu banyak tantangan –sekaligus peluang- yang dihadapi ISNU baik yang bersifat internal ataupun eksternal. Seperti urusan keorganisasian, kepengurusan, keanggotaan, hingga bagaimana ISNU bisa memberikan manfaat nyata kepada masyarakat umumnya dan Nahdliyin khususnya.  

Tidak bisa dipungkiri ISNU telah memberikan ‘warna’ tersendiri di lingkungan NU. Anggotanya terdiri dari para intelektual, cendekiawan, profesional, dan sarjana dari berbagai bidang keilmuan. Dengan komposisi anggota yang memiliki kualitas tinggi (high quality), ISNU diharapkan menjadi motor penggerak kesejahteraan umat.  

Untuk mengetahui lebih jauh kiprah, arah tujuan, dan peran ISNU dalam mewujudkan kesejahteraan umat, Jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat berkesempatan mewawancarai Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ali Masykur Musa pada Kamis (15/3) di Jakarta. Berikut kutipannya:

Di usianya yang masih sangat muda ini, apa saja yang dilakukan ISNU?

Di usianya yang masih 6 tahun, ada 3 hal yang harus dilakukan. Pertama, konsolidasi struktural. Saat ini, ISNU sudah terbentuk di 34 provinsi. Sementara pengurus cabang ISNU sudah terbentuk 60 persen dari seluruh kota dan kabupaten yang ada.

Kedua, konsolidasi networking. Tidak mungkin sebuah organisasi mampu menyelesaikan urusannya sendiri. Oleh karenya, ia harus memiliki networking capacity. Di beberapa kepengurusan ISNU, baik tingkat pusat ataupun daerah, 6 diantara pengurusnya adalah pejabat eselon satu, direksi BUMN jaga ada yang menjadi pengurus ISNU. Ini bagian dari networking capacity. 

Ketiga, konsolidasi program. Diantaranya adalah membuat branding terkait dengan apa saja yang mendiferensiasi ISNU dengan banom yang lain. Oleh karenanya kita bergerak pada 4 hal saja. 

Apa saja itu?

Pertama, meningkatkan capacity building di bidang sumber daya manusia. Adapun program-programnya adalah pelatihan kewirausahaan, manajerial leadership, dan lainnya. Kedua, konsolidasi program di bidang intelektualitas. ISNU adalah organisasi yang base nya adalah intelektuality sehingga intelektualitas harus bisa menjadi bagian dari branding. Diantara programnya adalah menghubungkan mereka yang ingin mendapatkan beasiswa ke S2 dan S3.

Ketiga, advokasi Undang-Undang. ISNU juga concern melakukan advokasi perundang-undangan yang ada seperti UU Minerba, Wakaf, dan lainnya. Keempat, bidang ekonomi. Sebuah organisasi harus memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi agar tidak mudah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan di luar. 

Apa saja program-program pemberdayaan ekonomi yang sudah dikembangkan ISNU?

Misalnya rintisan-rintisan di bidang micro finance, memperkuat jaringan, mengonekkan para petani, mencarikan petani benih-benih yang berkualitas, dan mencarikan modal dengan bunga rendah.

Ada ribuan Nahdliyin yang menempuh S2 dan S3 di luar negeri sana. Biasanya mereka –yang kuliah di Barat- enggan kembali dan berkiprah di NU karena alasan ‘tidak dibutuhkan’ dan ‘tidak ada tempat’ bagi mereka. Bagaimana ISNU merangkul mereka? 

Para sarjana NU baik yang menempuh jenjang S1, S2, ataupun S3 yang secara struktural tidak masuk di NU, mereka bisa menjadi member di ISNU. ISNU juga harus memiliki program-program yang bisa merangkul mereka karena tidak sedikit dosen di sebuah kampus tidak terserap menjadi pengurus NU.

Saat ini, ada 362 guru besar dari berbagai disiplin ilmu yang masuk di kepengurusan ISNU dari tingkat pusat hingga daerah, meskipun mereka juga terdaftar di banom yang lain. Selain itu, ada 2900-an doktor yang masuk di ISNU. Yang S2 dan S1 lebih banyak lagi.     

Dulu Gus Dur mengkritik pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) karena menganggapnya sektarian. Saat ini ada ISNU, pasti ada yang nyerang balik dan menganggap kalau ISNU lebih sektarian daripada ICMI. Tanggapan Anda?

Masyarakat Islam di Indonesia sangat majemuk. Juga memiliki latar belakang keislaman yang berbeda. Pertama, seiring dengan berkembangnya zaman maka sudah saatnya NU harus memiliki organisasi cendekiawan sendiri, dalam hal ini ISNU. Jika ICMI menyerap cendekiawan yang bukan NU ya silahkan karena memiliki kapasitas dan keunggulan masing-masing.

Kedua, mendirikan organisasi keintelektualitasan adalah sesuatu yang sah-sah saja. Di Katolik ada ISKA, Kristen ada PIKI, FCHI. Maka dari itu, di NU dibentuk organisasi cendekiawan untuk menampung para sarjana NU. 

Pemerintah akan mengizinkan beberapa kampus asing untuk beroperasi di Indonesia. Tanggapan Anda seperti apa?

Sebagai bagian dari masyarakat ekonomi ASEAN Indonesia tidak boleh menutup diri. Itu tantangan. Tapi harus diukur momen yang tepat untuk liberalisasi pendidikan di Indonesia. Perguruan-perguruan tinggi asing yang hendak membuka cabang di Indonesia harus menunggu waktu. Jangan sekarang. 

Perguruan tinggi Indonesia, umumnya kampus negeri dan juga swasta seperti kampus NU, itu harus memiliki kualitas yang baik terlebih dahulu. Jika perguruan tinggi Indonesia baik, maka mahasiswa Indonesia akan membayar jauh lebih murah untuk mendapatkan sebuah ilmu yang sama yang juga diajarkan di kampus asing itu misalnya. Dia akan lebih memilih perguruan tinggi Indonesia yang akreditasinya sudah baik, minimal B.

Jadi kalau saat ini kampus asing diizinkan beroperasi di Indonesia kurang tepat?

Saat ini tidak tepat mengizinkan kampus asing ada di Indonesia karena akan terjadi perang pasar di bidang pendidikan. Mereka memiliki kekuatan dan modal yang kuat dan besar. Ini pasti akan menggerus perguruan-perguruan tinggi Indonesia, apalagi perguruan tinggi di lingkungan Nahdlatul Ulama. Tapi pada saatnya mengapa tidak.

Pemerintah akan membangun Universitas Islam International Indonesia (UIII), padahal sudah ada banyak universitas Islam negeri yang kualitasnya juga sudah baik. Bagaimana respons Anda?

Kita harus melihatnya dari 3 perspektif. Pertama, perspektif kompetisi. Jika dilihat dari perspektif kompetisi perguruan tinggi antar negara, maka pendirian UIII ada signifikansinya. Sehingga Indonesia memiliki perguruan tinggi tingkat internasional di bidang ilmu-ilmu keislaman. Malaysia juga punya Universitas Islam Internasional Malaysia.

Core science antara satu negara dengan yang lainnya pasti bisa. Misalnya tentang Islam yang rahmatan lil alamin atau ramah, mereka pasti akan memilih Indonesia karena di Indonesia praktik-praktik keislaman memang seperti itu.

Kedua, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, maka sudah sepatutnya Indonesia memiliki universitas Islam dengan kualitas internasional. Ketiga, UIII harus mengembangkan ilmu-ilmu keislaman agar tidak terjadi duplikasi ilmu antara UIII dengan perguruan tinggi Islam lainnya. Jangan mengambil ilmu-ilmu yang dimiliki oleh perguruan tinggi Islam yang lainnya. 

UIII harus menjadi sisi lain yang mengisi kekosongan ilmu-ilmu keislaman yang ada di perguruan tinggi Islam. 

Mayoritas Nahdliyin adalah petani. Selain mencarikan benih sebagaimana yang disebutkan di atas, apakah ISNU memiliki program khusus di bidang pertanian?

Jumlah angkatan dan penyerapan kerja bidang pertanian. di Indonesia mencapai 40 persen. Oleh karena itu, sektor pertanian harus menjadi perhatian khusus NU karena mayoritas Nahdliyin adalah petani. 

Mendorong anak-anak NU untuk kuliah di fakultas pertanian adalah salah satu pilihan. ISNU dan banom lainnya yang memiliki bidang pertanian harus memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas petani kita. 

Seluruh banom dan lembaga  di lingkungan NU harus memikirkan itu. Harokah NU itu ada di petan. Mimpi kami, pada saatnya menteri pertanian itu harus dari orang NU karena itu langsung menyangkut hajat hidup orang NU.