Memperkuat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Harus Sentuh Akar Persoalan
Rabu, 21 Mei 2025 | 18:00 WIB

"Sinkronisasi dan Konsolidasi data Paham Keagamaan Nasional" yang digelar Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah di Horison Ultima Bhuvana, Bogor pada Rabu (21/5/2025) (Foto: NU Online/Suci Amaliyah)
Jakarta, NU Online
Upaya memperkuat kebebasan beragama harus menyentuh akar persoalan baik dalam cara pandang negara, aktor politik, maupun ruang digital yang membentuk opini publik.
Pembahasan ini disampaikan peneliti dalam acara "Sinkronisasi dan Konsolidasi data Paham Keagamaan Nasional" yang digelar Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah di Horison Ultima Bhuvana, Bogor pada Rabu (21/5/2025).
Peneliti senior Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar menyebut bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia menghadapi tantangan serius karena cara pandang negara. Menurutnya, sejak awal berdirinya republik, relasi antara negara dan agama belum pernah benar-benar selesai.
“Tahun 2000 ada upaya serius untuk mengembalikan Piagam Jakarta. Meskipun tidak menang tapi ada upaya-upaya tersebut," kata dia.
Ia juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa kebebasan beragama tidak mencakup kebebasan untuk tidak beragama atau tidak bertuhan. Pernyataan ini berkaitan dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang mengatur kebebasan beragama.
Putusan MK menyatakan bahwa HAM yang saat ini dianut Indonesia tidak bersifat liberal dan universal, tapi harus sesuai dengan jiwa bangsa yang religius dan partikular.
"Artinya negara mengatakan Indonesia negara religius. Cara pandang negara dalam hubungan antaragama akan mempengaruhi," ujarnya.
Menurutnya, cara pandang seperti ini akan sangat memengaruhi relasi antaragama di Indonesia.
Selain itu, Alamsyah menilai bahwa politisasi kebencian oleh aktor negara juga menjadi hambatan besar. Ketika kebencian terhadap keyakinan berbeda dipolitisasi, maka kebijakan yang dihasilkan cenderung diskriminatif.
“Kalau kita lihat media sosial, hampir 90 persen narasi keagamaan bisa terjebak dalam konflik, kecuali ada proses perdamaian yang kuat,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa isu KBB terjadi karena dinamika lokal, nasional dan global seperti kebijakan Donald Trump, ikut memperkuat gerakan anti-HAM. Sementara di tingkat lokal, kekuatan oligarki menciptakan tekanan tambahan terhadap isu-isu kebebasan beragama.
"Saya kira itu tantangan yang sangat serius, belum ditingkat lokal ada oligarki juga menciptakan situasi yang sangat serius," ucap dia.
Senada dengan itu, Direktur Pusat Studi Pesantren Achmad Ubaidillan menyatakan bahwa platform media sosial dapat dijadikan sebagai sarana asesmen sekaligus media untuk mendiseminasikan hasil-hasil riset tentang narasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB).
Secara definitif, paham keagamaan dapat dimaknai sebagai bentuk perbedaan pendapat atau pandangan yang diyakini oleh masyarakat, lalu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Problem kita hari ini bukan hanya pada isu antaragama, tetapi juga pada intraagama. Isu-isu ini kerap mengalami upaya mitigasi, namun mitigasinya sering dilakukan dengan sudut pandang paham keagamaan tertentu yang memiliki potensi laten yang cukup tinggi," ujarnya.
Ia menyoroti pentingnya sinkronisasi dan konsolidasi data. Menurutnya, tidak bisa mengabaikan problem laten yang berpotensi menimbulkan bahaya besar dalam kehidupan umat beragama.
Salah satu contoh yang ia angkat adalah narasi tentang Ba'alawi yang beredar di TikTok. Dalam konteks ini, ketika sebuah narasi masuk ke TikTok, maka algoritma akan turut membacanya dan menyebarkannya lebih luas.
"Kita perlu memberikan atensi yang cukup untuk mempercakapkan ulang persoalan identifikasi dan mitigasi dalam ruang intrareligius," jelasnya.