Nasional

Muara Proses Pendidikan Manusia: Jadi Hamba Allah yang Baik dan Benar

Kamis, 31 Oktober 2019 | 12:00 WIB

Muara Proses Pendidikan Manusia: Jadi Hamba Allah yang Baik dan Benar

Ilustrasi (NU Online)

Jakarta, NU Online
Sebaik-baik manusia ialah yang mengenal dengan baik dirinya sendiri. Dengan mengenal diri, seorang manusia bisa mengenal Tuhannya sehingga mewujudkan sikap kehambaan yang baik dan benar dalam kehidupan sosial.

Terkait kehambaan itu, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat KH M. Luqman Hakim menjelaskan bahwa penghambaan diperoleh melalui proses pendidikan yang panjang dan berkelanjutan (dawam).

“Seluruh proses pendidikan manusia, pada akhirnya agar manusia menjadi hamba Allah yang baik dan benar. Jika konsep kehambaan ini tidak menjadi tujuan utama, pendidikan apa pun akan gagal dan semakin gelap,” ujar Kiai Luqman dikutip NU Online, Kamis (31/10) lewat twitternya.

Konsep kehambaan ini, menurutnya, tidak pernah ada dalam pendidikan modern. Adapun di Indonesia, kata Kiai Luqman, prinsip kehambaan hanya ada di dunia pendidikan Pesantren.

“Muncul harapan ketika pesantren beradaptasi dengan kemodernan dan sekolah-sekolah modern memasukkan tradisi pesantren,” jelas Direktur Sufi Center ini.

Hamba sudah semestinya tunduk kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Hal itu mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan kebajikan hanya karena Allah. Kiai Luqman menegaskan bahwa sirna semua status manusia ketika dirinya masih dalam kondisi hamba.

“Ketika di posisi hamba, semua statusmu sirna. Apakah masih menginginkan status spesial di mata makhluk? Pada saat yang sama juga ingin status di mata Allah?” ungkapnya.

Setiap manusia menginginkan kasih sayang Allah bahkan berharap bisa menjadi hamba yang ditokohkan Allah, artinya hamba yanga istimewa. Lalu seperti apa karakteristik atau ciri-ciri manusia yang ditokohkan Allah atau menjadi tokoh Allah?

Kiai Luqman mengatakan, para tokoh Allah sering mengalami kesunyian dan kesendirian.Tapi mereka selalu berserasi dengan kesabaran, ketabahan, syukur, dan berserah pada-Nya.

“Tak ada takut dan gelisan. Ada Allah menyertainya. Mereka memandang-Nya karena Dia memandang mereka. Mengenang-Nya krena Dia mengingat mereka,” tutur Kiai Luqman.

Para tokoh Allah, sambung penulis buku Jalan Hakikat ini, hatinya penuh gelembung Cinta-Nya lalu mencintai-Nya. Ruhnya menyaksikan keagungan-Nya, rahasia batinnya jadi hamparan Ma'rifat pada-Nya.

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi