Daerah

Buka Konferwil NU Jabar, Kiai Said Aqil Siroj Bicara Ketimpangan Ekonomi

Sabtu, 30 Oktober 2021 | 18:00 WIB

Buka Konferwil NU Jabar, Kiai Said Aqil Siroj Bicara Ketimpangan Ekonomi

KH Said Aqil Siroj membuka acara Konferensi Wilayah (Konferwil) NU Jawa Barat di Bandung. (Foto: Tangkapan layar))

Bandung, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj berbicara ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Hal itu ia sampaikan saat mengisi mauidzah hasanah sekaligus membuka acara Konferensi Wilayah (Konferwil) NU Jawa Barat yang digelar di Grand Asrilia Hotel Bandung, Sabtu (30/10/2021).

 

“Sila-sila dalam pancasila sudah ada perkembangan. Terutama politik dan demokrasi sudah lumayan. Yang jauh panggang dari api yaitu sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya di hadapan para pengurus PWNU dan sejumlah perwakilan PCNU se-Jawa Barat.

 

Kiai Said mengatakan, saat ini ada ketimpangan kepemilikan harta masyarakat Indonesia, empat orang konglomerat saja hartanya sudah setara dengan 100 juta masyarakat kecil Indonesia. Sumber-sumber kekayaan alam dikuasai sebagian konglomerat dan merugikan masyarakat kecil.

 

“Kebanyakan orang miskin di sekitar sumber kekayaan. Pinggir laut, pinggir hutan dan pinggir tambang. Aneh, tambang batu bara dan penduduk sekitarnya melarat. Tambangnya milik orang Jakarta,” sesal Kiai Said.

 

Kiai Said menyebutkan, saat ini perekonomian Indonesia hanya fokus pada pertumbuhan, bukan pemerataan dan jika ditelisik lebih jauh yang tumbuh itu adalah pemiliki modal dan konglomerat.

 

“Kita harapkan, selain pertumbuhan, ada juga pemerataan,” ujar tokoh asal Cirebon ini.

 

Kiai Said menjelaskan, dalam bab ekonomi yang ideal seperti filosofi ketupat. Konglomerat paling atas, jumlahnya sedikit, kelas menengah paling banyak dan kelas bawah atau penduduk miskin juga sedikit.

 

“Ekonomi sekarang kayak kukusan, konglomerat sedikit, kelas menengah sedikit dan kelas bawah paling banyak. NU harus selalu menyuarakan nasib fuqara dan masakin,” pinta Kiai Said.

 

Lima Kekayaan yang Dimiliki NU
Dalam pembukaan Konferwil NU Jawa Barat ini, Kiai Said mengajak nahdliyin agar ber-NU dengan cara sadar dan pintar memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh NU sehingga pemerataan ekonomi di Indonesia bisa segera terwujud. Pengasuh Pesantren Atsaqafah ini menjelaskan lima kekayaan utama NU.

 

“Kita NU ini kaya, kekayaan NU yang pertama yaitu kapital sosial atau kekayaan masyarakat,” jelasnya.

 

Dicontohkan Kiai Said, pemuda yang akan menikah biasanya datang ke kiai untuk minta saran, doa restu, dan menikahkan kemudian setelah istrinya hamil, melahirkan, aqiqah, khitan datang lagi ke kiai untuk minta didoakan.

 

“Mau buka perusahaan (datang ke) kiai. Ini luar biasa ketergantungan masyarakat kepada kiai, ini harus dirawat. Mereka yang tidak suka, ingin menjauhkan masyarakat dengan kiai,” ungkapnya.

 

Kedua, kata Kiai Said, kekayaan budaya dan kekayaan yang paling menonjol ada pada kitab kuning karya ulama-ulama terdahulu. Setiap munas alim ulama NU, ada kurang lebih 20 pertanyaan seputar agama yang terjadi di masyarakat dijawab dalam dua hari oleh ulama NU. Seperti hukum uang kripto, salat jumat di kantor, hukum kloning, hukum bunga bank.

 

“Ada beberapa kelompok yang ingin menjauhkan kita dengan kitab kuning dengan kritikan-kritikan gombal, kitab kuning tidak relevan, tidak aktual,” ujar alumni Pesantren Lirboyo ini.

 

Kiai Said menambahkan, kekayaan NU yang ketiga yaitu kekayaan simbolik. Misalnya di akhir pidato ada kalimat wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq, selesai acara keagamaan ada berkat, ada beduk di masjid, cium tangan habib dan ulama, dakwah yang luwes dan sebagainya.

 

Kekayaan keempat, kata Kiai Said, kekayaan politik. Dalam catatan sejarah, tokoh yang membangun pusat politik adalah para wali dan ulama dengan mendirikan beberapa kerajaan Islam. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama dengan mendirikan pesantren yang mempunyai bobot politik yang luar biasa.

 

“Kelima yakni kekayaan finansial, kalau kita sadar, warga NU 10 juta saja, iuran Rp1000 setiap hari. 10 hari, Rp10 miliar, sebulan Rp30 milyar. Bangun kantor, pesantren, madrasah tanpa proposal,” tandas Kiai Said.

 

Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Aiz Luthfi