Fragmen

NU Ampenan Membela Palestina melalui Peringatan Isra Mi’raj (1)

Rabu, 25 Maret 2020 | 15:45 WIB

NU Ampenan Membela Palestina melalui Peringatan Isra Mi’raj (1)

Ampenan tempo dulu (Foto wisatalombok.info)

Pada awal abad 20, Ampenan merupakan pusat kota di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ampenan waktu itu memiliki pelabuhan ramai sehingga menjadi tempat lalu lalang antarbangsa. Saat ini di Ampenan terdapat banyak kampung yang merupakan perwujudan dari berbagai suku bangsa di Indonesia diantaranya Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Arab, dan Kampung Bali. Dari pelabuhan ramai inilah, NU masuk ke pulau Lombok.  

Dalam buku NU Lombok (1953-1984) karangan Ida Bagus Putu Wijaya Kusumah, disebutkan  bahwa NU mulai berdiri secara resmi pada tahun 1953. Jika dilihat dari sisi sejarah nasional NU, berarti sejak Muktamar NU di Palembang 1952. Pada muktamar itulah, NU memulai babak baru, menjadi partai politik. 

Namun, menurut TGH Taqiuddin Mansur dalam buku NU Lombok; Sejarah Terbentuknya Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat Disertai Doa Istighotsah dan Wirid Harian mengatkaan bahwa embrio NU dimulai sekitar tahun 1934, dimulai tokoh dan ulama asal Banjarmasin, Palembang, Arab dan India yang tinggal di daearah Ampenan mengupayakan sebuah organisasi yang berhaluan Ahlussunah wal-Jama’ah (Aswaja). Mereka di antaranya TGH Mustafa Bakri, Sayid Ahmad Al-Idrus, Sayid Ahmad Al-Kaf. Untuk tujuan Aswaja itu, mereka mendirikan sebuah organisasi bernama Persatuan Islam Lombok (PIL). Ada juga yang berpendapat Persatuan Ulama Islam (PUIL).

Para pemimpin organisasi itu itu menggabungkan dua aktivitas yang terkenal dalam sejarah penyebaran dan perkembangan Islam, yakni adalah pedagang di samping berdakwah. Karena itulah, pergaulan mereka dengan berbagai kalangan dan wilayah terbentuk dengan baik. Termasuk dengan pulau Jawa. Kebiasaan bertemu dengan berbagai kalangan itulah, menyebabkan mereka mendapat pengetahuan tentang organisasi mana yang berhaluan Aswaja, selaras dengan PIL dan yang bukan. Baik di tingkat lokal suatu wilayah, maupun yang telah berkembang di tingkat nasional. Organisasi Aswaja di tingkat nasional, mereka mendapatkan informasi tentang Nahdlatul Ulama. Kemudian, mereka meleburkan organisasinya dengan NU. 

Status Ampenan kemudian menjadi Cabang NU tersendiri. Aktivitasnya terekam di dalam sebuah laporan Berita Nahdlatoel Oelama, majalah dua bulanan milik NU yang diterbitkan di Surabaya, yang memuat peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad NU Cabang Ampenan pada 1939. Berikut laporannya pada edisi No 1 tahun ke-9 1 November 1939, halaman 11: 

Pada malam senin 27 Rajab bulan Islam Menurut Alamanak NU) dengan bertempat di rumah perkumpulannya sendiri, Nahdlatul Ulama Cabang Ampenan telah mengadakan perayaan Mi’rajnya junjunan kita Nabi Muhammad SAW (openbaaar mi’raj). 

Rapat dibuka oleh voorzitter sdr Achmad Alidrus pada jam 9.30. kurang sedikit dengan bacaan Al-Quran. Rapat dikunjungi oleh kurang lebih 400 orang laki-laki dan perempuan dan di antaranya sudah terhidytng tamu-tamu yang mendapatkan undangna spesial. Demikian juga wakil dari pemerintah dan pers lengkap. 
Wakil-wakil perkumpulan: Muhammadiyah dan PAI. 
Wakil-wakil pers: Kebangunan, Sin Po, Sin Tit Po, Sipatahoenan, dan Adil. 
Wakil Pemerintah atau PID terdiri dari hoopd-recherheur dan Mantri Politie.

Dari udangan yang hadir kita bisa simpulkan bahwa NU di tingkat cabang saja demikian terbuka, meskipun dalam beberapa berbeda pandangan seperti dengan Muhammadiyah dan PAI terkait masalah furu’iyah yang pada masa itu hangat diperdebatkan. 

Kedua, NU di tingkat cabang memiliki kesadaran dokumentasi yang tinggi dengan mengundang kalangan pers. Hal sebagaimana dilakukan di tingkat pusat. Tujuannya adalah mempercepat agar NU dikenal publik. Biasanya NU tingkat pusat mengundang pihak-pihak tersebut saat akhir muktamar dengan diadakannya openbaar tabligh. 

Ketiga, mengundang wakil dari pemerintah sebagai bagian dari penghormatan kepada ulil amri, meskipun kemudian pemerintahan waktu itu adalah kolonial Belanda bersifat sangat sewenang-wenang. Bahkan kesewenang-wenangan itu ditunjukkan pada acara peringatan Isra Mi’raj yang sedang berlangsung itu. Pasalnya saat berceramah, pengurus NU menyabit-nyabit kata “perang” “Palestina”, dan “Inggris” sehingga kegiatan tersebut diinterupsi oleh polisi yang saat itu hadir. 

Kejadian serupa pernah dialami NU Cabang Indramayu saat mengundang KH Mahfudz Shiddiq. Namun, saat itu atas negosiasi pengurus NU, acara bisa dilanjutkan.  Jadi, meskipun NU bukan organisasi politik saat itu benar-benar mengalami kesulitan bergerak. Kalau tidak dipimpin kiai-kiai yang yang berpandangan luas serta luwes, NU bisa berakhir lebih dini. 

Keluasan dan keluwesan cara berpikir pra kiai itu dalam menghadapi setiap tantangan zaman, menyebabkan NU hingga saat ini tetap ada, dan berperan.  Bersambung

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad