Internasional

Temuan XDRC di Xinjiang: Muslim Uighur Bebas Beribadah

Rabu, 25 Desember 2019 | 09:00 WIB

Temuan XDRC di Xinjiang: Muslim Uighur Bebas Beribadah

Pagar 'kamp interniran' yang oleh China disebut sebagai pusat pendidikan vokasi untuk Muslim Uighur di Xinjiang. (Reuters/Thomar Peter)

Jakarta, NU Online

Lembaga Pusat Pengembangan dan Penelitian Xinjiang (XDRC) melaporkan bahwa kehidupan beragama di Xinjiang, China berjalan dengan normal. Muslim di sana tidak mengalami hambatan apapun ketika menjalankan ibadah sehari-hari.

 

“Mereka beribadah sehari-hari seperti biasanya,” kata Peneliti XDRC Gulinaer Wufuli, seperti diberitakan Antaranews, Selasa (24/12).

 

Wufuli menuturkan bahwa Muslim Uighur juga bebas melaksanakan ibadah haji. Dilaporkan, di Xinjiang ada pesawat yang telah mengantarkan sekitar 50 ribu warga setempat ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji.

 

Peneliti beretnis Uighur itu juga menyebut jika Muslim Uighur memiliki beberapa unit lembaga pendidikan agama Islam. Selain itu, banyak Muslim Uighur yang belajar Islam di beberapa negara luar China. Sementara jumlah masjid di Xinjiang sekitar 20 ribu unit dan pemuka agama 23 ribu orang.

 

Dia menambahkan, pihaknya juga sudah menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam beberapa bahasa lokal seperti Uighur, Turkish, Mandarin, dan Kazakh. Hal itu dilakukan untuk mempermudah masyarakat lokal memahami makna Al-Qur’an.

 

“Kontribusi Islam di sini cukup besar,” ucapnya.

 

Peneliti XDRC lainnya, Tursun Abai membantah tuduhan pihak-pihak yang menyebut telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Dia mengkaim, Muslim Uighur mendukung kebijakan pemerintah China karena hak-hak mereka selama ini dilindungi.

 

“Namun kenapa masih banyak yang mengabaikan fakta ini?” tuturnya.

 

Sebelumnya, beberapa pihak menyebut kalau China telah berlaku sewenang-wenang terhadap Muslim Uighur. Salah satu anggota Komite Penghapusan Diskriminasi Rasional PBB, Gary McDougall mengungkapkan, sekitar dua juta warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya diwajibkan menjalani indoktrinasi di sebuah kamp politik di Xinjiang.

 

“(China) telah mengubah wilayah otonomi Uighur menjadi sebuah penampungan raksasa rahasia, semacam sebuah zona tanpa hak asasi,” kata McDougall, dikutip dari lama Reuters, Sabtu (11/8).

 

McDougall juga mengatakan bahwa warga etnis Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di China diperlakukan bak musuh negara karena identitasnya. Seratus lebih mahasiswa Uighur ditahan otoritas setempat usai mereka kembali dari belajar di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir,Turki, dan lainnya. Tidak sedikit dari mereka yang meninggal di dalam tahanan.

 

Sebulan setelahnya, lembaga hak asasi manusia yang bermarkas di New York, Human Right Watch (HRW), mengeluarkan sebuah laporan yang menguatkan tuduhan PBB tersebut di atas. Sebagaimana dikutip Reuters, Senin (10/9), Human Right Watch melaporkan, sebagian besar minoritas Muslim Uighur di Xinjiang China mengalami penahanan sewenang-wenang. Mereka juga menghadapi pembatasan harian terhadap praktik keagamaan dan ‘indoktrinasi politik paksa.’

 

Menurut Human Right Watch, di ‘kamp-kamp tahanan itu,’ Muslim Uighur dan lainnya dilarang mengucapkan salam. Mereka harus mempelajari bahasa Mandarin dan menyanyikan lagu-lagu propaganda. Jika menolak instruksi yang ditetapkan pihak berwenang, mereka akan dihukum seperti tidak mendapatkan makanan atau berdiri selama 24 jam, atau ditempatkan di ruang isolasi.

 

Tidak hanya sampai di situ, diberitakan Muslim Uighur juga dilarang mengenakan jilbab, memelihara jenggot, dan melakukan ritual-ritual keagamaan di depan umum. Bahkan, rumah-rumah mereka di wilayah Xinjiang dipasangi kode QR sebagai upaya untuk mengontrol populasi dan aktivitas Muslim Uighur. Human Right Watch menyebut kalau Muslim di Xinjiang itu telah lama ditargetkan pihak berwenang tanpa prosedur formal.

 

China menolak segala tuduhan itu. China menyebut kalau orang-orang tersebut sedang menjalani ‘pendidikan ulang’ atau ‘pendidikan vokasi’ setelah terpapar ekstremisme. Wakil Direktur Jenderal United Front Work Department Komite Sentral CPC, Hu Lianhe, mengatakan, pihak berwenang di wilayah Xinjiang melindungi penuh hak setiap warga secara setara.

 

“Argumen bahwa satu juta orang ditahan di pusat-pusat pendidikan ulang sepenuhnya tidak benar,” kata Hu, dilansir laman Reuters, Senin (13/8).

 

Hu menjelaskan, pihak berwenang menjamin kebebasan beragama bagi warganya dan melindungi aktivitas keagamaan mereka. Tetapi mereka yang terpapar virus-virus radikalisme agama harus ‘disembuhkan’ dengan memberinya pendidikan ulang.

 

Dia menuturkan, China telah menekan kejahatan ekstremis dan teroris sesuai dengan hukum yang ada. Hu menambahkan, apa yang dilakukan pemerintah China itu tidak menargetkan kelompok minoritas tertentu atau melakukan ‘de-islamisasi.’ Itu dilakukan untuk menekan ekstremisme.

 

Pewarta: Muchlishon

Editor: Aryudi AR