Kesehatan

HIV/AIDS menurut Thibbun Nabawi, Farmasi, dan Biopsikososioreligi

Sabtu, 10 Agustus 2024 | 11:00 WIB

HIV/AIDS menurut Thibbun Nabawi, Farmasi, dan Biopsikososioreligi

HIV/ AIDS. (Foto: NU Online/Freepik)

Banyak penyakit infeksi sudah ditemukan vaksin dan obatnya. Tetapi belum ada satupun vaksin yang ditemukan untuk HIV/AIDS. Obat yang ada saat ini hanya berperan memperlambat penambahan virus HIV di dalam tubuh. Obat-obat yang dikenal dengan Anti Retro Viral (ARV) itu harus dikonsumsi sepanjang hayat masih dikandung badan dengan efek samping yang tidak ringan.


Secara biologis, HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi. Selain infeksi, utama yang disebabkan oleh virus, infeksi oportunistik merupakan penyebab dari berbagai gejala yang dialami oleh pasien HIV/AIDS. Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang tidak menimbulkan gejala penyakit pada orang dengan kekebalan normal. Namun, pada orang dengan defisiensi imunitas, keberadaan mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan penyakit.


Secara umum, HIV/AIDS merupakan penyakit yang sulit diobati karena daya tahan tubuh penderitanya terus melemah. Berdasarkan tinjauan religi, Seorang polymath yang dikenal sebagai ulama Islam klasik yaitu Al-Hafiz Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya bahwa salah satu pasien yang sulit diobati adalah yang daya tahan tubuhnya sangat lemah (Al-Hafizh ad-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihya-ul ‘Ulum: 1990], halaman 63). 


Sementara orang yang beresiko tinggi terkena HIV/AIDS sudah diketahui, masih banyak yang terkejut ketika generasi muda juga terpapar penyakit ini. Terungkapnya data-data kawula muda yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia belakangan ini telah mengejutkan masyarakat. Bagaimana fenomena ini dari sudut pandang dimensi biologis, psikologis, sosiologis, dan religiusitas? Kemudian bagaimana dampaknya terhadap kondisi suatu bangsa?


Human Immunodeficency Virus (HIV) merupakan nama virus penyebab AIDS yang dapat melemahkan daya tahan tubuh manusia. Virus ini dapat menular melalui cairan tubuh manusia kemudian tersebar dengan beragam cara. Sebagai contoh, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV/AIDS, pertukaran alat suntik yang tidak steril dan telah digunakan oleh orang yang terinfeksi HIV/AIDS sebelumnya, serta pertukaran cairan tubuh lainnya yang memungkinkan masuknya virus HIV adalah beberapa jalur penularan yang telah diketahui. 


Bila baru memasuki tubuh manusia, infeksi ini tidak menampakkan gejala apapun. Periode tanpa gejala ini bisa bertahan bertahun-tahun. Setelah daya tahan tubuh orang yang terinfeksi menurun, maka muncul dan berkembanglah berbagai gejala (sindrom) yang dikenal dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dengan kata lain, AIDS adalah tahap infeksi HIV yang sudah berat.


Tidak dipungkiri, ada kasus-kasus manusia yang terinfeksi HIV/AIDS, padahal tidak memiliki perilaku berisiko. Bayi yang tertular dari ibunya, istri “baik-baik” yang tertular dari suaminya atau sebaliknya, dan pasien yang mendapatkan donor darah dari darah yang terinfeksi merupakan beberapa contoh penularan HIV/AIDS yang tidak disadari. 


Setelah terinfeksi, banyak orang yang tidak menyadarinya hingga belasan tahun kemudian sampai gejala yang lebih parah muncul. Tidak sedikit remaja yang tertular HIV di usia muda baru merasakan gejalanya saat menginjak dewasa. Ketika masih remaja (usia SMP atau SMA), tidak ada gejala yang muncul karena tertutup oleh status kesehatan anak remaja yang umumnya sangat fit dan berenergi.


Saat menginjak dewasa, yaitu pada kisaran usia mahasiswa, upaya screening dalam berbagai kesempatan untuk mendeteksi HIV/AIDS mulai menjangkau mereka. Ada yang terdeteksi ketika akan menikah, ada pula yang terdeteksi sewaktu sakit yang tidak kunjung sembuh seperti batuk lama, TBC, atau diare berkepanjangan. Namun, seringkali gejala tersebut hanya dikira flu maupun gangguan pencernaan biasa.


Bila kekebalan melemah, bakteri dan jamur yang pada orang normal tidak menimbulkan masalah dapat dengan mudah menginfeksi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Infeksi inilah yang disebut dengan infeksi oportunistik. Salah satu infeksi oportunistik pada ODHA yang sering terjadi adalah infeksi jamur candida, tetapi dikira sariawan biasa oleh orang yang tidak mengetahuinya. 


Selain itu, infeksi tuberculosis (TBC) pada usia muda juga sering menjadi pintu awal deteksi lanjutan untuk screening HIV/AIDS. Namun, karena merasa masih muda, penderitanya enggan memeriksakan diri ke dokter dan sering mengira gejala itu sebagai batuk biasa yang muncul dalam jangka lama. Ketika batuk mereda, mereka merasa sudah sehat lagi dan lupa karena hilangnya gejala.


Dokter Muhammad Ali al-Bar, seorang pakar penyakit menular yang memberikan penjelasan terhadap Kitab Sejarah Wabah, Imam as-Suyuthi menuliskan tentang fenomena orang tanpa gejala dalam pendekatan religius dan medis sebagai berikut:


Orang tanpa gejala adalah fenomena yang membingungkan yang terjadi pada semua penyakit menular. Mereka membawa mikroba penyakit yang membahayakan tanpa menampakkan gejala penyakit apapun secara absolut.” (Al-Bar, 2020, Riwayat Thaun dan Wabah dalam Sejarah Islam, PT Pustaka Alvabet, tahun 2020: halaman 87)


Gejala AIDS yang belum nampak pada usia muda membuat pengidap HIV lengah. Dalam konteks pergaulan sosial, ini menjadi masalah yang tersembunyi. Pada masa remaja, ODHA pria maupun wanita bisa nampak tak berbeda dengan orang kebanyakan. Di balik kerupawanan dan primanya badan mereka, tersembunyi virus yang belum bisa diobati hingga hari ini. Hal ini bisa dipahami karena karakter penyakit menular memang memiliki masa inkubasi yang tanpa gejala, tetapi dapat menularkan penyakit. Dokter Muhammad Ali al-Bar melanjutkan penjelasannya sebagai berikut:


Bahkan mereka tampak sangat prima dan sehat. Meskipun demikian, mereka memindahkan penyakit kepada orang-orang sehat lainnya.” (Al-Bar, 2020, Riwayat Thaun dan Wabah dalam Sejarah Islam, PT Pustaka Alvabet, tahun 2020: halaman 100)


Apabila dalam lingkungan sosial mereka bergaul secara sehat, tentu aman bagi orang lain. Namun, apabila orang tanpa gejala ini terlibat pergaulan bebas, maka akan menimbulkan bahaya penularan yang berdampak sosial secara luas.


Seiring waktu, terungkapnya HIV/AIDS di kalangan muda dapat menjadi fenomena yang berdampak jangka panjang bagi suatu negara. Stres tingkat tinggi pada pasien HIV/AIDS merupakan dampak yang tidak terelakkan. Nilai stres karena divonis AIDS memiliki skor tertinggi, yaitu 100. Hal tersebut menandakan bahwa umumnya manusia menganggap bahwa terkena penyakit AIDS sebagai cobaan terberat dalam hidup (Azhar, Cara Hidup Sehat Islami, [Bandung, Tasdiqiya Publisher: 2015], halaman 104).


Selain masalah psikologis, dampak dari kawula muda yang terkena HIV/AIDS sangatlah merugikan negara. Menurut Handayani, seorang peneliti Farmakologi dari UNUSA, ada 2 dampak berat ketika HIV/AIDS banyak terjadi pada pemuda. Dampak demografi meliputi menurunnya angka harapan hidup, hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah besar dan tidak akan mudah untuk digantikan.


Selain itu, ada dampak berupa tekanan terhadap perekonomian nasional. Mengingat bahwa HIV lebih banyak menjangkiti orang muda dan mereka yang berada pada usia produktif (94% pada kelompok usia 19-49 tahun), epidemi HIV/AIDS memiliki dampak yang besar pada angkatan kerja. Hal yang lebih parah sebagai rangkaiannya adalah meningkatkan terjadinya kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi (Handayani, 2017, Waspada Epidemi HIV-AIDS di Indonesia, Medical and Health Science Journal, Vol.1, No.1).


Berdasarkan tinjauan dari aspek biopsikososioreligi ini, permasalahan HIV/AIDS membutuhkan solusi berupa pendekatan yang integratif. Berbagai upaya mulai dari screening, edukasi, hingga pelayanan klinis untuk pasien perlu dikuatkan. Salah satu model pendekatan screening untuk generasi muda dapat dilakukan pada pelajar maupun mahasiswa. Selain itu, cek HIV/AIDS juga bisa dilakukan terhadap pasangan yang akan melaksanakan pernikahan sebagai salah satu syarat sebelum melangsungkan pernikahan.


Edukasi berbagai aspek yang bertujuan untuk pencegahan HIV/AIDS, juga perlu digencarkan kepada generasi muda. Penyadaran terhadap dampak pergaulan bebas dan penguatan promosi pergaulan yang sehat dengan berbagai pendekatan religius maupun ilmiah saintifik merupakan salah satu metode yang dapat ditempuh. Perlindungan terhadap generasi muda ini akan memberikan penjagaan terhadap kondisi demografi bangsa Indonesia.


Mengingat kondisi HIV/AIDS pada kawula muda merupakan situasi yang serius, maka perlu perhatian dari pemerintah dan seluruh masyarakat. Tidak cukup keprihatinan dan empati, tetapi perlu langkah-langkah solutif dan kepedulian, baik dalam pencegahan maupun penanganan dampaknya. Saatnya semua pihak ambil bagian sebagai perjuangan menyelamatkan generasi muda bangsa dari bahaya HIV/AIDS saat ini. Wallahu a’lam bis shawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi