Kesehatan

Neurosains, Thibbun Nabawi, dan Pengendalian Emosi

Sabtu, 27 Juli 2024 | 17:00 WIB

Neurosains, Thibbun Nabawi, dan Pengendalian Emosi

Neurosains, Thibbun Nabawi dan Pengendalian Emosi. (Foto: NU Online/Freepik)

Emosi yang tidak terkendali merupakan salah satu penyebab penyakit pada tubuh manusia. Orang yang tidak mampu menahan marah akan tergerogoti oleh suatu penyakit yang tidak disadarinya. Penyakit fisik maupun mental dapat menyergap orang yang pemarah hingga berakibat fatal bila tidak diantisipasi.


Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta ternyata memberikan tuntunan untuk mengatasi dampak buruk akibat sifat pemarah. Melalui para ulama yang ahli di bidang kesehatan, penjelasan tentang akibat marah bagi kesehatan dijelaskan secara detail. Bahkan, cara untuk mengatasinya juga telah dipaparkan berdasarkan tuntunan dari Nabi Muhammad saw.


Salah satu penyebab penyakit adalah gerakan emosi seperti yang terjadi pada kasus marah. Keadaan ini mendorong terjadinya gerakan jiwa yang pasti bersifat batiniah dan juga berdampak secara lahiriah.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 57).


Lebih lanjut, emosi yang tak terkendali akan memanaskan tubuh dan mengeringkannya sehingga Nabi melarang meluapkan amarah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa suatu ketika seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw untuk meminta nasihat. Beliau menjawab agar orang tersebut agar tidak marah dan mengulangi nasihatnya itu hingga beberapa kali.


Makna hadits tersebut adalah bahwa orang tidak boleh melakukan sesuatu karena dorongan rasa marahnya. Bukti dari hal ini adalah adanya riwayat lain dari Nabi Muhammad yang menganjurkan agar umatnya tidak berpikir seperti seorang yang sedang terserang marah. 


Apakah ada orang yang tidak terserang rasa marah? Bila marah tidak bisa dihindari, apa akibatnya yang perlu diketahui berdasarkan pendekatan Neurosains? Bagaimana pula antisipasi agar akibat buruk dari marah tidak terjadi berdasarkan Thibbun Nabawi?


Memang tidak ada seorang pun yang terbebas sama sekali dari rasa marah. Namun, ada orang-orang yang mampu mengendalikan diri ketika mereka diserang rasa marah. Ketika mereka marah, mereka mengendalikan diri hingga rasa marah itu tidak menguasai mereka dan mendorong mereka untuk bertindak di bawah pengaruhnya.


Inilah maksud firman Allah swt: 


وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ...


Artinya: “..Dan mereka yang menahan amarahnya..” (QS Ali Imran: 134).


Ayat tersebut menunjukkan bahwa rasa marah selalu ada pada manusia dan Allah memuji mereka atas kemampuan mereka menahan marah. Manakala Nabi sedang marah, kemarahan itu nampak di wajah Beliau saja. Para sahabat yang dekat dengan Beliau bisa mengenali perubahan rona wajah yang memerah menandakan bahwa Nabi sedang marah.


Suatu ketika Beliau bersabda: “Marah itu diciptakan dari setan dan setan diciptakan dari api, sedangkan api padam oleh air. Oleh karena itu jika salah seorang di antaramu sedang marah, hendaklah dia berwudhu.” (Hadits Riwayat Abu Dawud).


Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, ada pernyataan bahwa marah memang terkandung dalam hati manusia. Kitab At-Thibbun Nabawi, Al-Hafiz Adz Dzhabi menyatakan perubahan lahiriah dari orang yang sedang marah. Ciri fisik orang yang marah di antaranya adalah mata yang memerah dan membesarnya urat leher pada orang tersebut.


Ada beberapa dampak buruk kemarahan secara fisik yang dapat terjadi. Marah dapat mengubah fungsi organ tubuh secara drastis. Marah berdampak pada liver, pembuluh darah, perut, otak, dan kelenjar-kelenjar di dalam tubuh. Seluruh jalan fungsi tubuh yang alamiah berubah pada waktu marah karena hormon adrenalin dan hormon lainnya membakar energi saat amarah muncul.


Amarah yang terjadi pada seseorang juga dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Rasa marah yang meledak-ledak dan berkepanjangan sudah lama diketahui menyebabkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, masalah paru-paru, dan penyembuhan luka yang lebih lama. Lebih jauh lagi, amarah dapat menyebabkan kematian mendadak ketika pembuluh darah mengalami penyumbatan dan pecah akibat tidak bisa mengantisipasi cepatnya aliran darah yang dipompa oleh jantung.


Uniknya, konsep Thibbun Nabawi memberikan solusi untuk meredakan amarah agar tidak menimbulkan bahaya. Ada hadits riwayat Imam Muslim yang intinya menganjurkan zikir dengan kalimat tertentu ketika seseorang sedang marah sebagai berikut:


Sungguh aku mengetahui suatu kalimat yang jika seseorang mengucapkannya, maka rasa marahnya akan hilang. Kalimat itu ialah aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (Al-Hafiz Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihyail Ulum: 1990], halaman 58).


Selain membaca ta’awudz sebagaimana disebutkan, ada perubahan posisi tubuh yang dianjurkan untuk seorang Muslim yang sedang marah agar tidak sampai berdampak negatif. Ketika seseorang marah dalam kondisi berdiri, maka dianjurkan untuk duduk. Apabila seseorang marah pada posisi duduk maka dianjurkan untuk berbaring.


Perubahan posisi tersebut dapat ditinjau dari pendekatan neurosains yang membahas pengetahuan tentang otak sebagai pusat syaraf. Seorang yang marah dalam posisi berdiri tentu memerlukan energi pemompaan darah yang lebih besar agar aliran darah dapat mencapai otak dengan optimal. Semakin berkurang asupan oksigen yang dibawa darah ke otak, akan semakin sulit seseorang mengaktifkan sistem pengendalian dirinya.


Sistem pengendalian diri seorang manusia yang berperan untuk menahan marah terletak di bagian otak sebelah depan atas. Demikian pula bila marah terjadi ketika seseorang sedang dalam posisi duduk, maka masih ada efek gravitasi yang harus dilawan oleh aliran darah otak. Namun, apabila seseorang berbaring sesuai dengan tuntunan Islam ketika marah, aliran darah menuju otak akan sama baiknya dengan yang didistribusikan ke seluruh tubuh.


Kombinasi dari beberapa upaya untuk mengendalikan marah pernah diteliti oleh Mufid dan timnya pada subjek mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta. Mahasiswa yang dipilih merupakan mahasiswa tingkat akhir yang sedang menjalani skripsi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian melibatkan beberapa pilihan upaya seperti membaca ta’awudz, berwudu, dan mengubah posisi ketika marah.


Selain itu, penelitian untuk mengendalikan marah di atas juga dilengkapi dengan upaya untuk diam ketika menahan marah dan shalat sunnah 2 rakaat. Hasilnya, dari 60 mahasiswa yang dilibatkan dalam penelitian itu tidak ada seorangpun yang diklasifikasikan sebagai orang dengan kemampuan rendah dalam mengendalikan amarah (Mufid dkk, 2021, Controlling Anger on al-Qur’an and Psychology of Islamic Education Perspective [a Study at Private Higher Education, Review of International Geographical Education Online, Volume 11 Nomor 9: halaman 1).


Berdasarkan pendekatan Neurosains dan Thibbun Nabawi, marah dapat dikelola sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Selayaknya umat Islam menerapkan upaya pengendalian marah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan meyakini efek positifnya. Dengan demikian, dampak buruk akibat luapan emosi tidak akan dialami pada orang yang sedang marah maupun pada orang lain di sekelilingnya. Wallahu a’lam bis shawab.


Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi