Kesehatan

Remaja Dinilai Makin Gampang Emosi, Kenali Pengendalian dan Pencegahannya

Rabu, 7 Agustus 2024 | 20:30 WIB

Remaja Dinilai Makin Gampang Emosi, Kenali Pengendalian dan Pencegahannya

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Rembang, NU Online

Usia remaja merupakan usia peralihan dari usia anak-anak hingga dewasa awal. Pada fase ini terjadi perubahan yang kompleks meliputi perubahan emosi, perkembangan kognitif, perubahan sosial yang berkaitan dengan lingkungan sebaya, dan dukungan orang sekitar, terutama keluarga. Emosi remaja perlu dijaga sebab kerap kali dijumpai beberapa kasus kekerasan yang melibatkan sikap remaja, termasuk emosi yang fluktuatif bahkan cenderung meledak-ledak.


Dewi Rubiyati, Dosen Psikologi Pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hidayat Lasem, Rembang, Jawa Tengah mengungkapkan ekspresi yang ditampilkan oleh sebagian anak remaja cukup berlebihan.


"Terkadang sangat bahagia, tiba-tiba muncul rasa takut dan marah berlebihan, dan berontak sama orang tua bahkan sama guru," kata Dewi kepada NU Online Ahad lalu di Rembang.


Dewi mengatakan, faktor eksternal seperti depresi lantaran beban belajar yang terlalu berat menjadi pemicu naik turunnya emosi para remaja. "Bisa juga dia stres atau barangkali sering mengalami pressure belajar atau lingkungan sekolah yang membuatnya tidak nyaman seperti teman-teman yang kurang ramah. Jadi pada intinya masa remaja emosi anak cenderung labil memang," sambungnya.


Ia menjelaskan, sering ditemukan proses belajar siswa senantiasa dituntut untuk lebih aktif dan banyaknya pekerjaan rumah yang menyebabkan peserta didik menjadi jengah.


Misalnya dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran apapun itu guru memang harus sesekali memberikan motivasi pemahaman tentang pengendalian emosi kepada para peserta didik. Karena setiap guru juga bisa berperan sebagai konselor.


Faktor orang tua dan keluarga

Faktor keluarga juga menjadi salah satu pengaruh terhadap kestabilan emosi anak. Jika anak itu berada dalam lingkungan keluarga yang baik hangat penuh perhatian dan pengertian bisa berdampak positif bagi kestabilan emosi anak. 


"Tapi perlu diingat bahwa baik ini dalam artian netral tidak hanya berpusat pada orangtua misal menurut orang tua baik tapi menurut anak tidak itu akan jadi pressure atau tekanan pada anak. Dalam hal ini orang tua memang perlu memahaminya," jelasnya.


"Jangan sampai nanti anak ini di depan orangtua baik-baik saja penurut di luar sana sebaliknya marah pada orangtua melampiaskan ke perilaku yang negatif dan bahaya. Maka dari itu, penting sekali bagi orang tua untuk lebih bijak lagi dalam mendidik anak-anaknya," imbuh Dewi.


Menurutnya, suasana keluarga yang sering cekcok juga dapat memicu emosi anak. Entah itu disebabkan seringnya orang tua berkelahi, melakukan kekerasan satu sama lain. Meskipun lingkungan sekolah dan masyarakat juga turut membentuk emosi anak.


"Pada intinya, keluarga sangat berpengaruh terhadap kestabilan emosi anak walaupun bisa saja si anak ada cara sendiri untuk mengubah kondisi pengaruh lingkungan keluarganya," tegasnya.


Sekolah ramah anak

Salah satu solusi menarik dengan keprihatinan dalam mengatur emosi bagi para remaja, program Sekolah Ramah Anak menjadi tawaran yang mempunyai potensi tinggi.


"Saya akui, sekolah ramah anak ini memang positif, khususnya untuk membentuk karakter anak sejak dini, baik dari segi kognitif, afektif serta psikomotoriknya," kata Dewi


Namun, sejak 2015 hingga saat ini, Sekolah Ramah Anak belum merata hingga ke penjuru Indonesia. "Walaupun bagus, namun kita ketahui bersama memang keberadaan Sekolah Ramah Anak belum merata. Masalahnya dari ranah infrastruktur dan kevalidan data program itu," jawabnya.


Sementara itu, Kasihani, salah satu orang tua remaja putri yang duduk di bangku kelas dua SMP mengatakan bahwa cara mendidik anak belasan tahun tentu memerlukan pendekatan berbeda.


"Lebih menantang ya kalau saya rasa, karena memang harus penuh pendekatan emosional dan dapat selayaknya teman sebaya, tidak sering mengintervensi anak dan lebih sering diajak bercerita saja," tandas Kasihani atau akrab dipanggil Ani, Rabu (7/8/2024).


Namun, Kasihani memahami bahwa terkait pola asuh remaja, tak sedikit orang tua yang mengalami kesulitan. "Apalagi kalau sudah ada rasa suka dengan lawan jenis itu paling repot. Takutnya sedikit diberi gombalan manis langsung terbuai dan satu lagi, kalau pergaulannya tidak sehat. Itu yang saya takutkan," pungkasnya


Oryza Sativa, sebagai Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang membagi pengalaman tentang kondisi psikologis remaja yang salah satu kecenderungannya ialah membentuk identitas diri.


"Hal ini kemudian berdampak pada kondisi psikis remaja yang mengalami konflik internal pada diri terkait upaya mereka untuk membentuk identitas diri," jawab Oryza Sativa, Selasa (6/8/2024).


Menurut dia, langkah yang dapat dilakukan untuk mengontrol emosi salah satunya dengan belajar mengenali emosi yang datang. Hal ini berkaitan dengan kesadaran diri.


"Situasi seperti itu dapat dilatih dan dikembangkan melalui aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan refleksi diri," tegas Oryza.