Kesehatan

Teken PP Kesehatan, Pemerintah Hapus Praktik Sunat Perempuan

Kamis, 1 Agustus 2024 | 10:30 WIB

Teken PP Kesehatan, Pemerintah Hapus Praktik Sunat Perempuan

Ilustrasi. (Foto: dok. Kementerian Kesehatan)

Jakarta, NU Online

Pemerintah resmi menghapus praktik sunat perempuan. Kebijakan baru ini diteken Presiden Joko Widodo pada Jumat (26/7/2024) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.


"Menghapus praktik sunat perempuan," demikian bunyi Pasal 102 huruf a dilihat NU Online dari salinan PP Nomor 28 Tahun 2024.


Keputusan penghapusan praktik sunat perempuan bertujuan untuk kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah. Selain itu pemerintah meminta agar balita maupun anak pra-sekolah diedukasi agar mengetahui organ reproduksinya.


Orang tua juga diimbau untuk mengedukasi mengenai perbedaan organ reproduksi laki-laki dan perempuan, menolak sentuhan terhadap organ reproduksi bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh, dan mempraktikkan perilaku hidup sehat.


"Mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat pada organ reproduksi, dan memberikan pelayanan klinis medis pada kondisi tertentu," tulis Pasal 102 huruf e dan f.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak lama melarang praktik sunat perempuan karena hal tersebut tidak memiliki manfaat kesehatan bagi anak perempuan dan wanita dewasa.


Menurut WHO, sunat perempuan justru menyebabkan pendarahan hebat dan masalah buang air kecil, kista, infeksi, serta komplikasi saat melahirkan dan peningkatan risiko kematian bayi baru lahir.


Praktik sunat perempuan diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia anak perempuan dan wanita lantaran menyangkut kesehatan, keamanan, dan integritas fisik dan lainnya.


Pengasuh Ghazalia College, Ulil Abshar Abdalla mengatakan tradisi sunat perempuan bukan bagian dari ajaran Islam. Tradisi ini sudah dikenal jauh sebelum kedatangan Islam bahkan di Mesir Kuno dan berkembang masyarakat saat ini.


"Sunat perempuan ini seperti ditunjukkan di dalam ilmu kedokteran modern ini adalah praktik yang berbahaya. Jadi ini tradisi yang menyalahi ilmu kedokteran modern. Mengandung banyak madharat dan mafsadat," ungkap Gus Ulil dalam halaqah pencegahan P2GP beberapa waktu di Jakarta.


Lembaga Fatwa Mesir Darul Ifta Al Misriyah telah mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan bukan bagian dari ajaran Islam bahkan harus dilarang karena mengandung mafsadat dan madharat bahaya bagi perempuan.


"Memang ada pendapat yang berbeda mengenai sunat perempuan tetapi saya mengikuti pendapat Darul Ifta Al Misriyah mi karena alasannya kuat, kita sebagai muslim tentu saja tidak boleh mengabaikan ilmu kedokteran," ujar Gus Ulil.


"Jadi kita beragama juga harus punya pondasi di dalam ilmu pengetahuan dalam sains kedokteran," imbuhnya.


Putusan NU soal sunat perempuan

Merujuk pada Ahkamul Fuqaha halaman 918, para ulama berbeda pendapat soal hukum khitan. Ada yang mengatakan wajib sebagaimana mazhab Syafi’i, ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan mubah. Di sisi lain ada pula yang melarang, meskipun pendapat ini tidak memiliki dalil kecuali dengan melihat bahwa khitan perempuan dapat menyakiti mereka.


Adapun dasar yang menyebutkan hukum khitan adalah sunnah sebagaimana riwayat Imam Ahmad, “Sungguh Nabi saw bersabda, Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan kemuliaan bagi para perempuan.” (HR Ahmad).


Kata sunnah pada hadits tersebut bukan diartikan sebagai lawan dari wajib. Hanya saja, kata sunnah dalam hadits tersebut merujuk pada tradisi penduduk Madinah yang mengharuskan perempuan untuk dikhitan.


Merujuk pada Ahkamul Fuqaha halaman 919, hadits tersebut maksudnya adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga makna yang dikehendaki adalah, “Laki-laki sunnah berkhitan, sementara perempuan mubah,” atau “Laki-laki wajib berkhitan sementara perempuan sunnah.”


Adapun hikmah diadakannya khitan bagi perempuan adalah mengikuti syariat Allah dan sunnah Nabi, untuk kesucian, kebersihan dan mencegah infeksi saluran kencing, menstabilkan syahwat, dan lain-lain. (Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M), halaman 919).