Nasional

Prabowo Tuduh Aksi Massa dengan Makar, Ketua PBNU: Parpol Sudah Pragmatis, Semua Ikut Pemerintah

NU Online  ·  Kamis, 4 September 2025 | 17:00 WIB

Prabowo Tuduh Aksi Massa dengan Makar, Ketua PBNU: Parpol Sudah Pragmatis, Semua Ikut Pemerintah

Ketua PBNU, H Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali. (Foto: dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali, menolak tuduhan Presiden Prabowo Subianto terhadap aksi massa sejak Kamis (28/8/2025) itu sebuah bagian daripada makar. Ia menyoroti lembaga negara yang tidak menjalankan tugasnya secara benar.


Savic menegaskan pentingnya kejelasan dalam penggunaan istilah makar. Ia meragukan ada kekuatan politik saat ini yang berniat merebut kekuasaan secara inkonstitusional. Hal itu disampaikannya dalam tayangan Satu Meja The Forum Kompas TV dengan judul Marak Aksi Demonstrasi: Disikapi Bukan Direpresi, dikutip NU Online pada Kamis (4/8/2025).


“Saya kira sekarang tidak ada pihak yang berkepentingan untuk merebut kekuasaan. Partai-partai sudah pragmatis, semua ikut pemerintah,” tegasnya.


“Makar itu maksudnya apa? Menentang pemerintah? Melawan pemerintah? Atau merebut kekuasaan? Kalau memang ada pihak yang mau merebut kekuasaan, ya dibilang saja siapa,” katanya.


Menurutnya, pelabelan semacam itu mencerminkan cara pandang yang tidak relevan lagi di era demokrasi saat ini.


“Saya tidak tahu persis informasi apa yang dimiliki Presiden. Beliau tentu punya akses terhadap laporan intelijen, kepolisian, dan seterusnya. Tapi menurut saya, itu berlebihan. Dan ini bukan pertama kali terjadi,” katanya.


Ia mengingatkan bahwa pada masa reformasi 1998, mahasiswa yang menduduki DPR saat Sidang Istimewa juga dituduh makar oleh Panglima TNI Jenderal Wiranto saat itu. 


“Jadi menurut saya, ini mencerminkan paradigma lama yang memandang gerakan sosial yang cenderung keras atau menyerang aset negara sebagai makar. Sementara saya tidak melihat itu,” jelasnya.


Terkait anggapan Prabowo bahwa kekerasan sama dengan makar. Savic mengungkap bahwa dalam sejarah sosial di berbagai negara, ketika eskalasi ketegangan sudah sangat tinggi, kekerasan menjadi sulit dihindari. 


Ia mengutip pejuang hak-hak sipil kulit hitam Amerika Serikat, Martin Luther King Junior yang pernah berkata riot is the language of the unheard yaitu kerusuhan adalah bahasa dari mereka yang tak didengar. 


“Artinya, dalam dinamika lapangan, memang memungkinkan massa melakukan kerusuhan sebagai bentuk frustrasi. Tapi juga bisa terjadi bahwa kekerasan, pembakaran, atau perusakan dilakukan oleh kelompok yang memang sudah terorganisir dan mempersiapkan diri untuk itu,” jelasnya.


Ia berpandangan bahwa terkait rangkaian kerusuhan yang terjadi dalam aksi-aksi demonstrasi beberapa waktu terakhir. Menurutnya, kekerasan di tengah massa bisa terjadi secara spontan, namun juga bisa dilakukan secara terorganisir.


“Ada dua hal kekerasan bisa terjadi. Pertama karena spontanitas dinamika lapangan. Kedua, memang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir dan direncanakan,” jelasnya.


Ia menjelaskan, kekerasan yang muncul secara spontan biasanya disebabkan oleh interaksi emosional di lapangan yang tak terkendali. 


“Yang spontan ini karena dinamikanya: saling ejek, saling lempar, saling dorong dan segala macam. Bisa mengakibatkan kerusuhan karena itu instingtif,” katanya.


Savic menegaskan, tugas kepolisian adalah mengungkap kebenaran secara menyeluruh termasuk jika ada aparat yang terlibat. Karena itu, menurutnya, penyelidikan tak boleh dilakukan secara internal semata.


“Dalam kasus yang melibatkan polisi, harus ada tim independen. Saya kira memang kita butuh tim independen. Dulu kekerasan tahun 1998 juga diusut oleh tim independen,” tegasnya.