Nasional

Di Halaqah Fikih Peradaban di Gunungkidul, Amerika Disebut Darul Islam

Sabtu, 19 November 2022 | 14:00 WIB

Di Halaqah Fikih Peradaban di Gunungkidul, Amerika Disebut Darul Islam

Suasana gelaran Halaqah Fiqih Peradaban di

Jakarta, NU Online
Pengasuh Pesantren Al-Anwar 3 Sarang Rembang, KH Abdul Ghofur Maimoen menjelaskan suatu negara dapat dikatakan Darul Islam (wilayah Islam) yaitu jika syahadat diperbolehkan, mendirikan masjid diperbolehkan, nikah secara agama Islam diperbolehkan, maka secara sah dikatakan Darul Islam.


“Al-Ghanimi menggunakan ini, jika dia ditanya Amerika itu apakah Darul Islam atau tidak, maka bisa dikatakan sudah Darul Islam. Maka dari itu saya cenderung setuju dengan ini, karena konsekuensinya enak, menjadi dosen di sana enak, belajar di Amerika enak,” tuturnya dalam acara Halaqah Fikih Peradaban di Pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad Yogyakarta, Kamis (17/11/2022).


“Namun, di dalam fatwa-fatwa dari Arab Saudi tidak menggunakan ini. Mereka tetap menyebut Amerika adalah darul harbi (negara tidak Islam). Mereka terus memberikan dorongan untuk hijrah kembali ke Arab,” ujar Gus Ghofur.


Dalam tayangan di YouTube Darul Qur’an Channel itu, Gus Ghofur menyebutkan bahwa Darul Islam artinya Islam yang aman di sana. Ia juga mencontohkan perdebatan-perdebatan di dunia Islam perihal Darul Islam. Misalnya, perdebatan yang paling kuno adalah ketika Qatar menyerang dunia Islam dan menguasainya.


“Dulu hal itu sudah menjadi perdebatan apakah yang dikuasai Qatar itu masih Darul Islam atau darul harbi. Dengan segala situasinya, jika kita menyebutnya darul harbi maka dia harus pindah dari situ. Jika menjadi Darul Islam, maka tidak wajib hijrah dari negara tersebut,” jelasnya.


Moderasi pesantren
Pada acara yang sama, pengasuh Pesantren Kauman Lasem KH M Zaim Ahmad Ma’shoem menyampaikan pentingnya moderasi pesantren dalam rangka membangun peradaban.


“Peradaban itu lahir dari sebuah olah pikir dan olah rasa. Banyak sekali contoh-contoh di pesantren atau di dunia NU yang secara umum tidak lagi terpaku dengan nash-nash Qur’an dan Hadits. Banyak yang kadang-kadang tidak terlalu benar tapi tepat digunakan di Pesantren bahkan keseharian kita,” jelasnya.


Jika bicara tentang benar, lanjut Gus Zaim, maka shalat itu baiknya memakai celana panjang. Karena, ketika ada angin kencang pun tidak akan terbuka seperti sarung. Tetapi, itu tidak kontekstual dalam dunia kepesantrenan yang sudah sejak dulu sopan santunnya menggunakan sarung. Jadi, yang lebih tepat tetap menggunakan sarung.


“Ciri moderasi dalam pesantren itu adalah toleransi. Itu muncul seiring munculnya pesantren itu sendiri. Hampir seluruh pesantren tradisional muncul dari masyarakat. Ada satu orang datang mengaji, lalu datang dua lagi, dan datang seterusnya. Ini bagian dari toleransi masyarakat pesantren terhadap masyarakat yang ditempati,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori