Nasional

Gerakan Antaragama Perlu Diperluas untuk Kurangi Krisis Iklim

Selasa, 13 Juli 2021 | 03:00 WIB

Gerakan Antaragama Perlu Diperluas untuk Kurangi Krisis Iklim

Ilustrasi: Penyelamatan lingkungan dalam semua ajaran Islam sangat lekat bahkan pada tradisi keislaman Nahdliyin.

Jakarta, NU Online
Aktivis Front Nahdliyin untuk Keadilan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Roy Murtadho mengatakan gerakan antaragama untuk menyelamatkan krisis iklim perlu diperluas. Pasalnya, semua agama punya komitmen untuk menjaga lingkungan bumi. 


Hal itu diungkapkan Gus Roy, sapaan akrabnya saat menjadi narasumber pada acara webinar bertajuk Udara Sehat, Iklim Selamat yang disiarkan melalui Kanal Gusdurian TV, Senin (12/7) malam.

 

Ia menilai situasi masyarakat hari ini sudah ditimpa krisis solidaritas, tidak tahu fokus perjuangannya ke arah mana. Semua itu menurutnya disebabkan karena krisis iklim dan krisis identitas atau kemanusiaan.

 

Pengasuh Pesantren Misykat Al-Anwar, Bogor itu melihat keberagaman di Indonesia selama ini cenderung sulit untuk membangun solidaritas. Apalagi, dalam keadaan krisis iklim padahal manusia diberi mandat sebagai khalifah fil ‘ard atau wakil Tuhan di bumi untuk menjaga bumi, bukan malah merusaknya.

 

Gus Roy mengklaim jika krisis iklim terus berlangsung dan masyarakat idak bisa menghambatnya maka hal itu akan berdampak pada semua agama. Karena itu, ia mengingatkan pentingnya membangun solidaritas seluas-luasnya untuk gerakan konvergensi (keadaan menuju satu titik pertemuan) semua agama untuk menyelamatkan bumi seperti Gusdurian dan komunitas lain.


Penyelamatan lingkungan dalam semua ajaran Islam sangat lekat bahkan pada tradisi keislaman Nahdliyin. Ia mengutip ayat "Wala tufsidu fil ardhi bakda islahiha (Janganlah kamu melakukan kerusakan di muka bumi yang sudah baik ditata oleh Allah)." 


Artinya, lanjut Gus Roy, ajaran Islam sangat lekat dengan aspek tersebut dan hal itu merupakan konsep lama hubungan antara manusia dengan manusia, Allah dan alam yang terintegrasi dengan kesadaran setiap orang.


Misalnya, ia mencontohkan, kehidupan para kiai-kiai dahulu seperti Kiai Adnan Ali di Jombang seorang penganut Tarekat Naqsabandiyah dan Qadariyah yang hidupnya wira'i. "Kalau hajatan hanya menyajikan pisang, kenapa? Karena buah pisang dari pohon sampai akar tidak ada yang dibuang sia-sia, semuanya bermanfaat," kata Gus Roy.


Berbeda dengan saat ini menyajikan sesuatu jika tidak menggunakan styrofoam dianggap tidak keren. Sehingga, menurut pria kelahiran Jombang itu, mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah terlanjur hidup dalam budaya konsumerisme itu susah.

 

Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Kendi Setiawan