Nasional

Menyiarkan Pancasila di Media Penyiaran

Sabtu, 1 Juni 2019 | 19:05 WIB

Menyiarkan Pancasila di Media Penyiaran

Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah.

Jakarta, NU Online
Tanggal 1 Juni 2019 kemarin, diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Upacara untuk memperingatinya dilakukan di segala penjuru nusantara. Presiden Joko Widodo menjadi inspektur upacara (irup) peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kompleks Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat.
 
Lemahnya pelembagaan atau institusionalisasi Pancasila, menjadi catatan. Salah satu contoh yang sering kita dengar dan lihat, beberapa institusi pendidikan meminta muridnya atau mengajarkan yang bertolak belakang dengan kaidah Pancasila, bahkan penentangan.  Ini menjadi potret bagaimana pelembagaan Pancasila juga lemah, di samping memang terjadi ketimpangan sosial di kehidupan kita.  

Bagaimana kondisi konten-konten layar televisi dan siaran radio hari ini?  Di satu sisi, konteks sosial kita masih menyisakan persoalan yang membutuhkan suntikan informasi dari media penyiaran terkait Pancasila. Tanggal 1 Juni sangat disayangkan apabila dilewati dengan kegiatan-kegiatan seremonial saja, minus perenungan reflektif. 

Ubaidillah, Komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) Pusat yang hadir pada upacara di Gedung Pancasila mengataka bahwa televisi dan radio selalu membuka dan menutup acara dengan lagu-lagu kebangsaan setiap harinya. Tetapi, tidak menyentuh waktu prime-time. Satu durasi waktu yang banyak publik menyalakan layar televisi.

"Di konteks inilah sebenarnya, semangat dan nilai Pancasila serta kebangsaan itu musti hadir di TV dan radio. Sebab kita sadar, bahwa lembaga penyiaran mempunyai efek dominan dalam pembentukan karakter publik.  Ia musti menjadi medium kampanye dan transmisi dari penghayatan-penghayatan yang kerap membosankan," katanya.

Ia mengatakan, perbaikan-perbaikan pengawasan dan pembinaan oleh KPI sudah merangkak dengan maksimal terhadap televisi dan radio. Kebijakan ini juga muncul dari pemerintah-pemerintah daerah, dengan mengaktifkan peraturan daerah berkaitan dengan lokalitas masing-masing daerahnya.

"Dalam konteks ini bukan legitimasi Pancasila dengan baku yang diharapkan di layar televisi dan radio, tapi ia berdiri aplikatif dan menimbulkan pengaruh bagi perilaku publik," imbuhnya. 

Konten-konten dalam setiap program siaran dapat menghidupkan imajinasi publik, tentang keindonesiaannya, lalu bagaimana bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Kreasi program siaran harus beranjak kreatif. Penguatan sumber daya manusia menjadi kuncinya, dengan tidak berkualitas pengetahuannya terhadap Pancasila.

"Akhirnya, dengan nalar Pancasila dan nilai-nilai keteladannya, sangat mungkin televisi dan radio menjadi ruang transmisi yang kreatif. Sehingga tagline #KitaIndonesia #KitaPancasila benar-benar terinternalisasi ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia," tutupnya. (Red: Kendi Setiawan)