Penguatan Hak Beragama Butuh Sinergi Lintas Lembaga
NU Online · Rabu, 21 Mei 2025 | 14:00 WIB

Sinkronisasi dan Konsolidasi data Paham Keagamaan Nasional yang digelar Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah di Horison Ultima Bhuvana, Bogor, Jawa Barat pada Rabu (21/5/2025). (Foto: NU Online/Suci Amaliyah)
Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Peneliti dari Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN Rudy Harisyah Alam mengungkapkan bahwa konflik terkait hak warga negara beragama kerap terjadi karena sejumlah faktor, di antaranya kemajemukan yang memiliki potensi konflik tinggi, sejarah ketegangan yang belum terselesaikan, serta persaingan sumber daya dan kekuasaan.
“Tanah juga bisa menjadi sumber konflik yang terkait dengan agama maupun politik, terutama menjelang pemilu,” ujarnya dalam Sinkronisasi dan Konsolidasi data Paham Keagamaan Nasional yang digelar Direktorat Urusan Agama Islam dan Bina Syariah di Horison Ultima Bhuvana, Bogor, Jawa Barat pada Rabu (21/5/2025).
Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bismar Bhaktiar menyoroti lemahnya penegakan hukum dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Ia menyebut perlindungan terhadap kebebasan beragama bukan hanya tanggung jawab ormas keagamaan, tetapi merupakan mandat negara yang harus dijalankan secara tegas dan adil.
“Komnas HAM, Kementerian Agama, Kejaksaan, dan Kementerian Dalam Negeri adalah lembaga negara yang harus aktif memantau dan menjamin kebebasan beragama. Ini bagian dari hak asasi manusia,” ujarnya.
Bismar menekankan pentingnya keterlibatan Kementerian Agama dalam pencegahan dan pendampingan kelompok keagamaan, terutama dalam menghadapi potensi diskriminasi yang muncul akibat peraturan daerah (perda) yang tidak sejalan dengan prinsip hak asasi.
“Kemenag punya anggaran, kewenangan, dan satuan kerja. Tapi di lapangan, masih banyak perda yang justru mengarah pada diskriminasi. Ini perlu dikawal bersama,” katanya.
Ia juga menyebutkan ketidaksinkronan antara hukum positif, norma adat, dan regulasi keagamaan sering kali menyebabkan ketegangan di masyarakat. Karena itu, harmonisasi aturan dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci dalam menjaga kerukunan.
Di sisi lain, Komisi Ketua Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Firdaus Syam menjelaskan bahwa dalam menghadapi persoalan keagamaan yang sensitif, MUI tidak serta-merta mengeluarkan fatwa.
“Kami melakukan tabayyun atau klarifikasi terlebih dahulu. Mengundang mereka, mendengarkan penjelasan, baru kemudian melakukan pembinaan. Tidak langsung mengeluarkan fatwa,” kata Firdaus kepada NU Online.
Firdaus menyebut, MUI memiliki sepuluh kriteria untuk menilai apakah sebuah kelompok dapat dikategorikan menyimpang. Di antaranya: menolak rukun Islam dan iman, meyakini adanya wahyu setelah Al-Qur’an, hingga mengafirkan orang lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya.
“Sepuluh karakter ini telah disepakati dalam Rapat Kerja Nasional MUI,” tegasnya.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua