Nasional

Syekh Ammar Azmi Ar-Rafati Palestina Jelaskan Makna Tasawuf

Senin, 7 November 2022 | 07:35 WIB

Syekh Ammar Azmi Ar-Rafati Palestina Jelaskan Makna Tasawuf

Imam Masjid Al-Aqsha Palestina Syekh Ammar Azmi Ar-Rafati (kiri) bersama KH Achmad Chalwani Nawawi di pesantren An-Nawawi, Berjan, Purworejo, Jawa Tengah, Ahad (6/11/2022). (Foto: NU Online/Ahmad Naufa)

Purworejo, NU Online 
Imam Masjid Al-Aqsha Palestina Syekh Ammar Azmi Ar-Rafati menerangkan makna tasawuf. Menurutnya, para ulama tasawuf menjelaskan lebih dari seribu makna atau definisi tasawuf. “Tetapi, saya ingin mengambil sebagian makna itu yang relevan dengan kesempatan ini,” ungkapnya, dalam Bahasa Arab, ketika berkunjung ke Pesantren An-Nawawi, Berjan, Purworejo, Jawa Tengah, Ahad (6/11/2022).


“Makna tasawuf yaitu mencintai Allah swt dengan tanpa ujung,” ungkapnya.


Artinya, ia melanjutkan, ketika kita menjalankan ibadah semisal dzikir, wirid, shalat, dan ketaatan lain, tak ada tujuan mengharap pahala atau mencari surga dari Allah swt. Tetapi, kedudukannya lebih dari itu semua, yaitu dilakukan karena cinta kepada Allah swt. 


Kemudian, keturunan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani itu mengutip Al-Qur’an, yang terjemahannya, “Maka barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya sesuatu pun.'”(QS. Al-Kahfi).


“Ini sebuah kedudukan (beribadah karena ingin berjumpa dengan-Nya). Tetapi ahli tasawuf lebih tinggi kedudukannya, yaitu beribadah karena mencitai Allah swt dengan tanpa ujung (puncak atau tujuan akhir). Cintanya hanya untuk Allah swt, karena Dia-lah yang paling layak dicintai,” jelasnya.


Karena itu, sambungnya, banyak orang saleh berdoa: ilaahi anta maqshudi waridlaaka mathluubi (Tuhanku, Engkaulah yang kutuju, dan keridlaan-Mu yang kucari). “Doa ini menjelaskan kepada kita makna mencintai Allah swt dengan tanpa ujung,” imbuhnya.

 

Dijelaskan, amal dan perbuatan yang kita lakukan hanya mengharap agar Allah swt ridha, senang, dan cinta kepada kita. Kalau Allah sudah cinta, pasti kita tertarik oleh cinta-Nya. Orang kalau dicintai Allah swt, secara otomatis, orang itu cinta kepada-Nya. Tetapi akan sulit kalau orang ingin langsung mencintai Allah swt, tanpa meminta cinta-Nya.


Selain iru, definisi tasawuf juga mencintai Rasulullah dengan inayah. Inayah yaitu mencintai dengan mempraktikkan semua yang Rasulullah lakukan, baik dari segi ucapan, perilaku, dan diamnya Nabi.


Dijelaskannya, semua kehidupan Rasulullah saw sudah terdokumentasi dengan lengkap. Sampai-sampai, Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan 1 juta hadits, baik yang sahih maupun tidak.
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah...,” kata Syaikh Ammar, mengutip penggalan Al-Qur’an surat Al-Hasr ayat 7.


Ia juga mendasarkan definisi tasawuf kedua itu pada Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 31, yang terjemahannya: “Katakanlah (Nabi Muhammad):, “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” 


Syekh Ammar mencontohkah, kehidupan Nabi Muhammad saw di dalam rumah tangga sangat romantis, melebihi romantisnya sinetron-sinetron yang ada. Akhlak Nabi seperti tawadlu, mengasihi, dan menyayangi orang lain, itulah yang mesti dipraktikkan dalam kehidupan umatnya sehari-hari.


Di akhir acara, ulama berkacama itu memberi poin sekaligus pesan kepada jamaah. “Mencintai Allah dengan tanpa ujung, mencintai Rasulullah dengan inayah, mencintai orang yang mencintai keduanya, mencintai orang yang mengajak mencintai keduanya, (dan) mengajak orang untuk mencintai keduanya,” kata Syekh Ammar, seraya mengajak hadirin mengingat.


Kedatangan Syekh Ammar Azmi Ar-Rafati disambut KH Achmad Chalwani Nawawi, para santri serta ribuan jamaah Tarekat Qadiriyah/ Naqsyabandiyyah (TQN). Dalam sambutannya, Kiai Chalwani bersyukur dapat kesempatan satu majelis dengan Imam Masjidil Aqsha, Palestina itu.


Ia menjelaskan tentang sejarah singkat berdirinya pesantren An-Nawawi, yang didirikan oleh KH Zarkasyi, yang diteruskan oleh putranya KH Shiddiq. Lalu diteruskan oleh putranya KH Nawawi, dan kini diteruskan oleh Kiai Chalwani.


“Hari ini, ada sekitar 3000 santri, dari timur sampai barat Indonesia. Pesantren ini tak hanya mengajarkan ilmu-ilmu syariat saja, tetapi juga dilengkapi dengan tasawuf yang dinisbatkan pada Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiiyah,” ungkapnya, dalam Bahasa Arab.


Pewarta: Ahmad Naufa
Editor: Syamsul Arifin