Nasional

Karakter dan Sejarah Tasawuf di Nusantara

Kamis, 2 Desember 2021 | 08:00 WIB

Karakter dan Sejarah Tasawuf di Nusantara

Tangkap layar seminar web 'Road to Muktamar Ke-34 NU Seri 7' Rabu (1/12/2021).

Jakarta, NU Online
Ada dua karakter tasawuf yang muncul di Nusantara, yaitu tasawuf falsafi (teoretis) dan tasawuf amali (praktis). Keduanya sudah berada di Nusantara sejak pertama kali Islam masuk ke wilayah ini (abad ke-13 M). Di antara buktinya dengan keberadaan kitab at-Tuhfah al-Mursalah karya Al-Burhanpuri, Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jili, Ihya Ulumiddin karya Al-Ghazali, dan sebagainya. 

 

Hal ini disampaikan oleh Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) dalam seminar web Road to Muktamar Ke-34 seri 7 yang diselenggarakan oleh NU Online bekerjasama dengan Universitas Nahdaltul Ulama Indonesia (Unusia), pada Rabu (1/12/2021) malam.

 

"Bahkan konsep Insan Kamil karya al-Jili saat itu menarik para tokoh-tokoh. Tidak hanya bagi Walisongo, tetapi juga para raja, bangsawan, dan lain sebagainya," ungkap Gus Ulil. 

 

Lebih lanjut Gus Ulil menjelaskan, di antara dua karakter tasawuf tersebut, yang paling berpengaruh adalah amali. Hal itu dibuktikan dengan popularitas kitab Ihya Ulumiddin karya Al-Ghazali. Berikutnya, ini yang menjadikan Al-Ghazali menjadi kiblat tasawuf NU selain Imam Junaidi al-Baghdadi.

 

"Meskipun KH Hasyim Asy’ari sendiri dalam kitab Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah-nya menggunakan tasawuf Imam Abul Hasan asy-Syadzili," imbuhnya.

 

Perkembangan tasawuf Nusantara 

Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali M Abdillah mengatakan, dalam perkembangannya, tasawuf di Nusantara mengalami dinamikanya masing-masing. Dari mulai pra kolonial sampai pasca kolonial. Kiai Ali memaparkan perkembangan tasawuf sejak abad ke-16 hingga abad ke-21. 

 

"Tokoh-tokoh penyebar ajaran tasawuf abad ke-16 sampai 18 di antaranya adalah Syekh Hamzah al-Fansuri yang merupakan ulama pengamal tarekat dan terkenal dengan konsep tasawuf falsafinya dengan istilah wujudiyah," paparnya. 

 

Selain al-Fansuri, ada pula Syekh Syamsuddin al-Sumatrani yang merupakan ulama pelopor ajaran Martabat Tujuh. al-Sumatrani juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Naqsabandiyah dan seorang tokoh yang gigih dalam melawan penjajah, termasuk dalam peristiwa perlawanan terhadap Portugis di Malaka. 

 

Berikutnya, dilanjut dengan Syekh Abdurrauf al-Singkili yang meneruskan penyebaran ajaran Martabat Tujuh dan modifikasi tarekat Nasyabandiyah hingga berkembang pesat di Nusantara. Kemudian dilanjut dengan Syekh Yusuf al-Maqassari yang mengamalkan tarekat Samaniyyah atau dan juga ajaran Martabat Tujuh. 

 

Selanjutnya, ada Syekh Abdussamad al-Palimbani dan Syekh Nafis al-Banjari. 

 

Pada abad ke-19 M, praktik tasawuf mulai mendapat pengawasan dari Belanda karena ajaran tasawuf (tarekat) dianggap bisa membahayakan eksistensi penjajah di Nusantara. Di antara upaya yang dilakukan Belanda adalah dengan mengangkat Sayid Utsman sebagai mufti dan mengeluarkan fatwa tentang larangan ajaran tasawuf. 

 

"Sejak itu Belanda punya dasar untuk melarang ajaran Martabat Ttujuh dan tarekat-tarekat di seluruh wilayah Nusantara,” ujar Kiai Ali.

 

Lebih lanjut, Kiai Ali mengungkapkan, termasuk kontrol yang dilakukan Belanda saat itu adalah adanya keharusan izin dari pihak penjajah jika ada orang ingin mengajarkan tasawuf. “Itu pun (kegiatannya) akan terus diawasi oleh Belanda,” imbuhnya. 

 

Memasuki abad ke-20 ketika masih dalam era kolonial, ditandai dengan banyak ulama yang secara sembunyi-sembunyi mengamalkan taswawuf. Termasuk pendiri KH Hasyim Asy’ari sendiri yang padahal pengamal tarekat Naqsabandiyah. Baru setelah Indonesia merdeka, tasawuf mulai terbuka diajarkan dan dipraktikkan. 

 

“Sekarang banyak pengajian online mengajarkan tasawuf, termasuk organisasi-organisasi yang rutin mengajarkannya seperti Jatman (Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah,” pungkas Kiai Ali. 

 

Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Kendi Setiawan