Opini

Gema Nasida Ria: dari Hajatan Desa hingga Panggung Asia dan Eropa

Rabu, 22 Juni 2022 | 07:45 WIB

Gema Nasida Ria: dari Hajatan Desa hingga Panggung Asia dan Eropa

Grup Kasidah Nasida Ria saat tampil di Jerman. (Foto: instagram @nasidariasemarang)

Jauh-jauh hari sebelum orang berteriak Go Green, sekelompok perempuan muda ini sudah memulainya. Menyadari hutan Indonesia sebagai aset dan paru-paru dunia, grup kasidah Nasida Ria dari Semarang mengingatkan. Melalui musik, sebuah jalur kebudayaan, lagu Lingkungan Hidup dirilis tahun 1982. Hingga akhirnya tahun 1997 mulai terjadi kebakaran hutan besar-besaran. Saking besarnya, asapnya pergi berkelana: mengotori negara tetangga. 


Lewat lirik dan musiknya yang komplit, Nasida Ria menyuarakan banyak isu. Mulai dari soal hukum, etika, spiritualitas dan keimanan, sampai tema-tema uvinersal: lingkungan, perdamaian, persatuan dan keadilan. Mendengar lantunan yang dibawakan, kita tak hanya menikmati, tetapi juga mendapat ilmu dan motivasi. Suaranya terus mengudara, seakan tak tergerus oleh masa. 


Inilah Nasida Ria, grup kasidah modern terbesar yang melegenda. Gemanya tak hanya berkumandang di acara hajatan pelosok desa atau kampung-kampung di Nusantara, tetapi juga menembus sampai ke Benua Asia dan Eropa. Sebuah pencapaian fantastis yang tentunya menjadi kebanggaan bangsa.


Bahkan, kini di generasi yang ketiga, Nasida Ria masih terus rajin latihan. Keistiqamahan mereka berbuah manis: kembali konser di Negeri Panzer setelah tahun 1994. Para emak-emak itu memukau ribuan orang di event seni akbar dunia: pembukaan Documenta Fifteen, yang digelar 18 Juni sampai 25 September 2022 di Kassel, Jerman. Di sebuah benua yang orangnya banyak mengambil ‘spiritualitas’ dari musik, kehadiran mereka disambut dengan gegap gempita. Di tanah air sendiri, video konsernya pun viral dan mendapat respon positif dari warganet.


Di bekas negeri fasis itu, mereka tampil seperti biasanya: memakai kerudung dan baju tertutup. Orang-orang Eropa yang menyaksikan pun dapat menduga identitasnya: Muslimah. Di negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik dan Protestan ini, Nasida Ria membawakan beberapa lagu, di antaranya: Perdamaian, Dunia Dalam Berita, Kota Santri, dan Habbaitak. Bahkan mereka ‘meledakkan’ lagu Bom Nuklir di sana. Sebuah dialog kebudayaan yang progresif, di tengah virus Islamofobia yang berkembang di daratan Eropa sejak Tragedi 9/11. 


Bila menelusur sejarah, ini bukan pertama kalinya mereka tampil di luar negeri. Menurut pemimpin dan manajer Nasida Ria H Choliq Zain, pengalaman kasidah bentukan ayahnya pertama tampil di luar negeri tahun 1988 di Kerajaan Malaysia, dalam menyambut tahun baru Islam. 


“Tahun 1994 ada festival seni Islam seluruh dunia di Berlin, Jerman. Nasida Ria tampil dua kali. Terus tahun 1996 akhirnya tampil lagi, di Jerman lagi, tapi menambah lagi: di Berlin tampil lima kali, terus tampil lagi di Recling Housen sekali, Waltham sekali, Dusseldorf sekali. Terus tahun 2009 Nasida Ria tampil satu grup di Hong Kong,” ungkapnya, dalam film dokumenter Nasida Ria: The Legend of Qasidah, di akun youtube putrinya: Nazla Zain, diunggah 2017 silam.


Hj Rien Jamain, generasi pertama Nasida Ria yang sampai kini masih bertahan, terus menularkan ilmunya. “Kita tetap mencari penerusnya untuk regenerasi. Terus kita melatih juga, melatih segalanya. Bukan musik saja, ya kesopanannya, ya cara bicaranya, ya semuanya. Itu tidak mudah. Bagaimana bisa tetap Nasida Ria berjaya sepanjang masa, karena dakwah lewat seni, insyaallah,” tutur pelantun lagu Nasehat Pergaulan dan Asyik Santai itu.


Kini, di tengah derasnya arus digital dan pilihan musik yang beraneka ragam, Nasida Ria tetap bertahan dari gempuran zaman. Sebagai wadah kaderisasi bagi Nasida Ria, Gus Choliq Zain mendirikan Ezzura. Penerus sang pendiri lainnya, yakni Gus Hadzik Zain membentuk grup kasidah Nida Ria. Sedangkan Hj Fella Suffah Zain mendirikan grup kasidah El Hawa. Semua grup kasidah tersebut memiliki sisi kesamaan sekaligus keunikan: semua personelnya wanita. 


Di Indonesia sendiri, Nasida Ria sudah mendapat tempat di hati masyarakat. Tak hanya orang tua, tetapi juga generasi muda. Synchronize Fest, salah satu event musik besar tahunan, berturut-turut mengundangnya pada tahun 2018-2019. Ini membuktikan jika para insan musik tanah air juga ‘cium tangan’ kepada mereka, seperti ibu kandung sendiri. Banyak pemuda hafal lagu-lagunya yang berkilauan makna. Gemuruh tepuk tangan dan teriakan menggema kala personil mereka memamerkan kemampuan memainkan alat musiknya. “Konser paling damai sedunia: tak ada tawuran, tak ada batu terbang, tak ada tampol-tampolan, tak ada senggol-senggolan. Pokoknya legenda terbaiklah Nasida Ria,” tulis Rifan, setelah menonton.


Nasida Ria dan di Balik Lirik Lagunya

Nasida Ria didirikan pada tahun 1975 oleh seorang guru qira'at, pegawai departemen agama dan juri tingkat nasional: H Muhammad Zain. Ia juga seorang muadzin Masjid Kauman Semarang. Setiap hari, sang pendiri mendidik santri putrinya mengaji kitab, menjadi qari’ dan belajar alat musik di asrama miliknya. Lalu dari sinilah awal mula Nasida Ria terbentuk, yang dipimpin oleh istri pendiri: Hj Mudrikah Zain.


Gus Choliq pernah menjelaskan arti nama grup ini. “Nasida Ria adalah terdiri dari dua kata. Nasyid itu lagu-lagu atau nyanyian. Ria itu yang bergembira ria,” ungkap sang manajer.


Awalnya, personel Nasida Ria berjumlah 9 orang santri putri dari Semarang. Generasi pertama itu adalah: Mudrikah Zain, Mutoharoh, Rien Jamain, Umi Kholifah, Musyarofah, Nunung, Alfiyah, Kudriyah, dan Nur Ain. Mereka mencampurkan gaya musik Arab klasik dengan instrumen Barat modern. Sampai album keempat, mereka membawakan lagu Arab, seperti Ala Baladi dan Wulidal Huda. Setelah mendapat masukan dari KH Bukhori Masruri, selanjutnya banyak memakai bahasa Indonesia. Hal ini tak lain agar lebih efektif dan dimengerti masyarakat pesan moralnya.


Seiring kasetnya meledak di pasaran dan diputar di berbagai radio, tape dan televisi – TVRI Jawa Tengah waktu itu - Nasida Ria diundang ke berbagai daerah dan kota. Mereka melantunkan lagu-lagunya secara offline, dari kampung ke kampung, panggung hiburan, sampai tampil di televisi nasional dengan panggung megah pada tahun 2015, yang semakin melambungkan nama mereka. Pada tahun 2018, bahkan pernah sebulan penuh emak-emak ini tampil di semua stasiun televisi di Jakarta.


Kini, personil Nasida Ria berjumlah 12 perempuan. Mereka memainkan bass, gitar, keyboard arabic, keyboard diatonis, kendang, seruling, dua biola, dan tamborin. Lalu yang juga unik dari grup kasidah ini, setiap personil dapat bergantian menjadi vokal. Wajarlah jika kemudian Dr. Anne K. Rasmussen, seorang pengamat musik dan musisi dari Amerika, tertarik menyeberang benua untuk bertemu sekaligus berduet dengan mereka. Ia punya pendapat tersendiri tentang grup kasidah ini.


“Kalau Nasida Ria itu grup kasidah modern yang paling, e, mungkin yang paling terkenal di Indonesia. Oleh karena mereka sejarahnya sudah, hampir 40 tahun ya. Dan pertama kali saya ke Indonesia itu pada tahun 1995. Dan saya sudah mendengar nama Nasida Ria. Dan saya sudah mulai mengumpul (kan) kaset-kaset dari Nasida Ria,” ungkap perempuan yang jago memainkan alat musik itu, dalam The Legend of Qasidah.


Anne tertarik dengan lirik dan lagu-lagu Nasida Ria yang menyuarakan keagamaan dan kemanusiaan. “Bagaimana mereka bercerita sejarah Nasida Ria. Juga judul tujuan beberapa lagu, seperti Perdamaian, dan ada tentang Palestina, ada tentang Hak Hak Perempuan, ada tentang Keadilan. Jadi semua subjek. All the subject of Nasida Ria's (semua subjek Nasida Ria), sangat penting dan pasti itu musik keagamaan. Tapi lebih luas daripada keagamaan saja,” komentar sang doktor.

 

Grup Nasida Ria. (Foto: instagram @nasidariasemarang)


Lirik-lirik lagu Nasida Ria banyak yang berbicara tentang lingkungan, kondisi dan kritik sosial. Lagu-lagu mereka kebanyakan ditulis oleh KH Ahmad Bukhori Masruri (alm) yang menggunakan nama samaran Abu Ali Haidar. Ia merupakan santri KH Ali Maksum, Krapyak dan KH Maimoen Zubair, Sarang. Kiai Bukhori juga kenal dan berteman dengan Gus Dur sejak muda. Waktu itu, ia nyantri di Krapyak dan Gus Dur di Tegalrejo. Lalu keduanya reuni ketika Kiai Bukhori menjadi Ketua PWNU Jawa Tengah (1985-1995) dan Gus Dur memimpin PBNU.


Sebagai penyair, lirik lagu-lagunya dahsyat. Salah satu lagu futuristik yang diciptakannya adalah Tahun 2000. Dalam liriknya, ia menulis: ‘Tahun 2000 kerja serba mesin, berjalan berlari menggunakan mesin, manusia tidur berkawan mesin, makan dan minum dilayani mesin.’ Mengenai lagu ini, Kiai Bukhori pernah menyampaikan dalam Haul KH Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, 2016 silam.


“Itu saya bikin tahun 1982. Belum tahun 2000, saya menciptakan lagu tahun 2000. Besok tahun 2000 itu begini, begini, begini. ternyata betul apa yang saya katakan dalam syair lagu itu. Tetapi jangan takut: ‘Wahai pemuda remaja sambutlah, tahun 2000 penuh semangat, dengan bekal keterampilan, serta ilmu dan iman,’” katanya, sambil memenggal lagu itu di depan hadirin.


Beginikah penyair yang di-mention Al-Qur’an Surat As-Syu’ara’ 224-227 itu? Wallahu A’lam. Yang jelas, lewat lagu Perdamaian yang digubahnya, Kiai Bukhori pernah diganjar Platinum Award, penghargaan tertinggi dalam belantika cassette. Latar belakangnya yang seorang santri, memberi warna kuat dan kalis dalam menyuarakan keagamaan dan kemanusiaan. “Saya itu bikin lagu-lagu, isinya dakwah semua. Mulai Perdamaian, Merdeka Membangun, Dunia Dalam Berita, Tahun 2000, Tabrak Lari, Palestina, itu lagu-lagu saya,” imbuhnya.


Sebagai penutup, kiranya di sini perlu mengutip pendapat Vincent Rompies, musisi kondang dan aktor papan atas Indonesia. Dalam sebuah wawancara, ia ditanya: “Kalau hanya ada satu lagu di dunia, lagu apa yang kamu mau?” Lalu ia berpikir keras beberapa bentar. Dan jawaban mantan bassis grup band Clubeighties itu cukup tak terduga: “Nasida Ria kali ya: Wajah Ayu untuk Siapa?” ungkapnya, menyebut lagu karya kiai Nahdlatul Ulama.


Ahmad Naufa Khoirul Faizun, Jurnalis NU Online, penikmat lagu-lagu Nasida Ria dan Iwan Fals