Opini

Globalisasi, Pesantren, dan Rekonstruksi Kitab Kuning

Kamis, 26 April 2018 | 06:30 WIB

Globalisasi, Pesantren, dan Rekonstruksi Kitab Kuning

Ilustrasi (ibtimes.co.uk)

Oleh Adi Candra Wirinata

Secara historis, sejak abad ke-19 M dunia Barat atau modernitas telah mengusai dunia. Hal ini mengakibatkan perubahan paradigma dalam peta pemikiran ilmu-ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, transformasi keilmuan beralih pada pendekatan rasional dengan meninggalkan pendekatakan tradisonal.

Melihat perkembangan dunia yang begitu pesat terdapat bermacam-macam respons dari berbagai kalangan, termasuk umat Islam. Perubahan yang terus muncul belakangan ini di dalamnya menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, dari ekonomi hingga nilai-nilai moral. Secara sederhana, era global ini dapat diilustrasikan dengan persaingan sengit dalam bidang ekonomi dan politik, kemanjuan sains dan teknologi, arus informasi yang cepat dan perubahan sosial yang tinggi.

Fenomena perkembangan sains dan teknologi semacam ini, dimana pertimbangan pragmatis dan materialistik menjadi posisi kunci, nilai-nilai moral agama dengan sendirinya dihadapkan pada realitas yang tidak memungkinkan untuk dipungkiri, yaitu terjadinya reduksi agama. Hal ini terjadi karena kekeringan nilai luhur agama, masyarakat industri hanya menempatkan materialis den pragmatis sebagai cita-cita ideal dalam kehidupannya.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara juga tidak tinggal diam menghadapi tantangan globalisasi ini. Dengan doktrin-doktrin keislaman yang dimilikinya, fenomena seperti ini tidak seharusnya diposisikan sebagai hambatan peradaban, tetapi posisikan sebagai tantangan eksistensi masa depan pesantren di masa globalisasi ini.

Eksistensi santri dan kitab kuning mampu menjawab perubahan zaman jika metode pengkajian kitab tersebut tidak terpaku kapada teks saat kitab tersebut ditulis, melainkan menyesuaikan dengan kondisi zaman pembaca. Perkembangan sains dan teknologi menuntut santri untuk merekonstruksi kitab kuning, sehingga menjadi kekuatan yang khas dalam kehidupan terkini. Bukan malah ditinggalkan karena dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman, dan juga tidak bersikap anti-modernisasi dengan bersikukuh berpegang teguh kepada teks kitab kuning.

Akar Pola Pikir Pesantren

Rekonstruksi merupakan penafsiran data psikoanalitis sedemikian rupa, untuk menjelaskan perkembangan pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya yang sekarang ada bagi individu yang bersangkutan. Dalam ilmu filsafat, teori ini terdapat dalam filsafat pendidikan yang bercirikan radikal atau sangat mendalam. Bagi aliran ini, persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan dilihat jauh ke depan dan jika perlu diusahakan terbentuknya tata peradaban yang baru.

Rekonstruksi semacam ini telah menjadi proyek besar bagi pesantren, proyek yang sejak awal telah disusun untuk masa depan agama dan bangsa. Proyek ini dapat disebut tradisi dan pembaruan, proyek tersebut terdiri dari tiga agenda yang harus dihadapi yaitu; sikap santri terhadap kitab kuning, sikap santri terhadap globalisasi, dan sikap santri terhadap realitas.

Ageda pertama menuntut untuk mengusai sejarah atau kondisi sosio-politik saat kitab kuning yang menjadi pondasi intelektual kaum santri itu ditulis. Sedangkan agenda kedua mendorong santri untuk memahami siyaqul kalam kemunculan globalisasi yang terjadi hingga saat ini, bukan malah menutup mata terhadap tradisi-tradisi baru yang mendorong timbulnya globalisasi tersebut, sebab menutup mata demikian dapat menimbulkan eksklusifisme dalam beragama dan berbudaya. Adapun agenda ketiga merupakan interpretasi terhadap kitab kuning (yang pada umumnya berisi ajaran-ajaran Islam klasik) sesuai dengan kondisi zaman terkini.

Jika agenda pertama berinteraksi dengan kebudayaan warisan, maka agenda kedua berinteraksi dengan kebudayaan pendatang. Keduanya tertuang dalam realitas kehidupan terkini. Pada setiap posisi peradaban terdapat tiga faktor bagi terciptanya inovasi yaitu; faktor warisan, faktor pendatang dan tempat-tempat inovasi atau tempat terjadinya proses asimilasi antara faktor warisan dan faktor pendatang.

Ketiga agenda ini juga mewakili tiga dimensi waktu. Agenda pertama mewakili masa lalu yang mengikat santri, agenda kedua mewakili masa depan yang diharapkan, dan agenda ketiga mewakili masa kini.

Sebenarnya tiga agenda tersebut dapat diringkas ke dalam dua agenda yaitu; waktu dan ruang. Agenda pertama dan kedua, meskipun berbeda dari segi sumber dan kebudayaannya, namun keduanya merupakan transferensi dari pendahulunya yaitu; tradisi dan humanisme yang merupakan induk dari globalisasi. Dengan arti ini keduanya merupakan gerakan salaf yang menjadikan teks sebagai dasar rasio.

Tantangan bagi keduanya adalah bagaimana menemukan kembali sisi yang hilang, yaitu realitas masa kini yang mendorong lahirnya kreativitas, dan bagaimana menghapus anggapan bahwa agenda pertama dan kedua adalah rival dalam memperebutkan realitas masa kini. Sesungguhnya, keduanya adalah satu sisi yang berhadapan dengan sisi lain yang hilang.

Sikap Pesantren dalam Menghadapi Globalisasi

Pada masa silam pengajaran kitab kuning, terutama karya-karya ulama berpaham Syafi’iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utamanya ialah untuk mendidik calon ulama. Kitab yang diajarkan di seluruh pesantren yang berada di Jawa dan Madura pada umumnya sama.

Kesamaan tersebut menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktik-praktik keagamaan di kalangan santri di seluruh Jawa dan Madura. Sistem pendidikan pesantren yang tradisional biasanya dianggap sangat statis dalam mengikuti sistem sorogan dan bandongan dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik ke dalam bahasa Jawa, dalam kenyataannya tidak hanya sekedar membicarakan bentuk dengan melupakan isi ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab tersebut. Para Kiai sebagai pembaca dan penerjemah kitab tersebut, bukanlah sekedar mebaca teks, tetapi juga memberikan pandangan-pandangan pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa dari teks. Dengan kata lain, para Kiai juga memberikan komentar atas teks sebagai pandangan pribadinya. Oleh sebab itu, para penerjemah tersebut haruslah menguasai tata bahasa Arab, literatur dan cabang-cabang pengetahuan agama Islam yang lain.

Untuk masa selanjutnya sangat banyak karya-karya ulama Nusantara yang khas lahir dari pesantren. Sangat gampang ditemui dalam karya-karya tersebut mengenai kesejahteraah hidup manusia, sebab menurut ulama klasik, dakwah yang baik adalah semua cara bijaksana yang sesuai dengan waktu dan tempat. Sedangkan motif dan tujuannya ialah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

Kiai dan santri sebagai subjek dalam sebuah pesantren untuk menjawab tantangan globalisasi telah berhasil melakukan proyek besar dan telah sempurna menjalankan agenda-agenda yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, pesantren yang di dalamnya terdapat peran kiai dan santri mampu mempertahankan eksistensinya dengan tanpa merusak atau meninggalkan tradisi (kitab kuning) dan dengan tetap bersikap kesatria dalam menghadapi globalisasi. Dengan kata lain, santri tidak mempertentangkan antara tradisi intelektual pesantren, kitab kuning, dengan globalisasi dan segala gerakan yang mendorongnya, melainkan melestarikan tradisi atau budaya lama yang masih relevan dan mengambil terobosan baru yang inovatif.


Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Direktur Komunitas Maoes Boemi (KMB)