Paus Fransiskus, Ia yang Mengurai Simpul Kehidupan dan Menyembuhkan Luka-luka Dunia
NU Online · Ahad, 27 April 2025 | 18:30 WIB
RD Leo Mali
Kolomnis
Pagi itu, 21 April 2025, Vatikan masih diselimuti keheningan khasnya. Namun dentang panjang lonceng Basilika Santo Petrus memecah sunyi. Bukan untuk memulai perayaan liturgi, melainkan mengabarkan kepergian seorang gembala agung: Sri Paus Fransiskus, Uskup Roma dan pemimpin umat Katolik sedunia, telah pulang ke rumah Bapa. Kabar duka ini menjalar cepat, melintasi batas negara, agama, dan budaya—menyentuh hati siapa saja yang pernah merasakan kehangatan kehadirannya, kelembutan hatinya, dan keberpihakannya pada yang kecil, lemah, dan tersingkir.
Dalam mengenangnya, saya tidak hanya melihat sosok pemimpin gereja, melainkan seorang manusia yang menjadikan luka sebagai jalan belas kasih. Ia telah mengurai simpul-simpul besar yang membelit dunia, tapi juga tidak lalai pada simpul-simpul kecil dalam hidup pribadi orang-orang seperti saya. Sebab, baginya, hidup adalah buku paling indah yang menanti dibaca dengan mata hati: Setiap halaman luka dan harapan adalah pelajaran iman yang tidak terekam dalam dokumen-dokumen resmi gereja.
Satu hal yang sangat menyentuh saya adalah spiritualitas yang lahir dari devosinya kepada Maria sebagai “Maria yang Mengurai Simpul Kehidupan” (dalam bahasa Italia: Maria che scioglie i nodi; dalam bahasa Jerman: Maria, die Knotenlöserin). Nama itu merujuk pada lukisan karya Johann Georg Melchior Schmidtner (sekitar tahun 1700) yang menggambarkan Maria ibu Yesus sedang melepaskan simpul dari pita panjang dengan dibantu dua malaikat.
Paus Fransiskus, yang masih menyandang nama Jorge Mario Bergoglio, sedang belajar di Jerman kala menemukan lukisan itu pada 1986 di sebuah gereja di Augsburg. Saat itu, ia tengah mengalami kepenatan hidup sebagai mahasiswa doktoral.
Baca Juga
Keteladanan Paus dan Duka Gaza
Disertasinya tidak selesai. Studinya gagal. Ia tertekan. Maria che scioglie i nodi lalu tampak di hadapannya bukan hanya sebagai karya seni, tetapi simbol iman: Kasih Tuhan hadir di tengah kekusutan hidup manusia. Maria hadir dengan kelembutan tangan seorang ibu untuk menolong kita mengurainya. Sedangkan Maria sendiri adalah representasi dari tangan Allah yang mengurai simpul-simpul kehidupan manusia. Dari situ berkembang devosinya pada Maria sebagai bunda yang mengurai simpul kehidupan.
Semangat dari devosi Maria che scioglie i nodi telah menjelma dalam cara Paus Fransiskus memimpin dan merespons zaman. Ia tidak lelah menghadapi luka-luka kemanusiaan: Kemiskinan, perang, krisis lingkungan, perdagangan manusia, eksploitasi perempuan dan anak, serta korupsi politik. Dalam Evangelii Gaudium, ia menulis, “Agama sejati tidak terasing dari penderitaan manusia; sebaliknya, ia hadir di dalamnya untuk menyembuhkan” (EG 270).
Karena itu, baginya, gereja bukan museum orang suci. Gereja adalah rumah bagi mereka yang terluka. Ia membuka pintu gereja selebar-lebarnya bagi siapa pun yang mencari pengharapan. Seberat apapun hidup yang kita jalani, simpul-simpulnya harus diuraikan bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi terutama untuk menemukan kembali harapan akan kasih Allah. Karena kasih Allah yang menyapa hidup manusia jauh lebih besar dan lebih agung dari persoalan yang mengimpit hidupnya.
Perjumpaan Personal
Saya merasa sangat tersentuh oleh sepenggal kisah perjalanan spiritual Sri Paus Fransiskus, terutama ketika saya harus melewati masa sulit saat menyelesaikan disertasi doktoral di Roma pada 2020-2023. Dalam kelelahan yang nyaris membuat menyerah, saya memberanikan diri menulis surat kepadanya pada 17 Februari 2023 yang berisi curahan hati seorang imam yang hampir kehilangan arah. Tak saya sangka, pada 15 Mei 2023, saya menerima jawaban darinya. Suratnya ringkas, tapi penuh kekuatan. Kalimat-kalimatnya menyimpan kekayaan iman yang lahir dari luka-luka hidup dan perjumpaan pribadinya dengan Tuhan.
Sebelum surat itu tiba, saya sebenarnya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Sri Paus dalam audiensi bersama mahasiswa dan profesor Universitas Kepausan di Aula Paulus VI pada 25 Februari 2023. Dalam kesempatan itu, saya terpilih untuk bertanya dan berdialog dengan Sri Paus bersama lima mahasiswa yang lain. Namun saya tidak hadir. Malam sebelumnya, saya berjaga menyelesaikan bagian akhir disertasi hingga dini hari.
Ada penyesalan, tentu saja. Tetapi kemudian saya sadar bahwa ini pun bagian dari simpul kehidupan. Ada hal-hal yang perlu dilepas agar simpul yang lebih dalam bisa diurai. Selain itu, ternyata jawabannya dalam surat menjadi perjumpaan yang lebih personal dan mendalam—kehadiran yang tak tampak secara fisik, tetapi sungguh nyata dalam kekuatan doa dan solidaritas ruhani.
Ada semacam pelajaran diam-diam yang saya bawa dari semua itu bahwa kehadiran ruhaniah bisa lebih kuat dari perjumpaan lahiriah. Bahwa tidak semua yang tak terjadi harus disesali, sebab ada rahmat dalam ketiadaan. Dalam dunia yang serba visual, Paus Fransiskus justru mengajarkan kekuatan dari yang tak terlihat berupa kelembutan hati, ketulusan niat, dan kesetiaan yang tak tampak di permukaan. Ia menunjukkan bahwa kasih tidak harus selalu hadir di atas panggung; kadang, ia bekerja dalam diam—seperti Maria yang mendoakan dunia dalam senyap.
Dari pengalaman itu, saya melihat devosi Fransiskus kepada Maria bukan sekadar doa, melainkan cara hidup. Ia meneladani Maria dalam menjadi pengurai simpul-simpul kemanusiaan. Ia membawa semangat conviviality (hidup bersama dalam damai), sebagaimana dikatakan filsuf Zygmunt Bauman. Paus Fransiskus membangun jembatan, bukan tembok. Ia memandang perbedaan bukan sebagai ancaman, tapi sebagai undangan untuk saling belajar dan tumbuh dalam pengertian.

Warisan yang Tetap Hidup
Dalam Dokumen Abu Dhabi (2019), Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar menyatakan bahwa “iman membawa orang beriman untuk melihat yang lain sebagai saudara dan saudari untuk dicintai.” Ini bukan semata diplomasi antaragama, tetapi seruan spiritual bahwa agama-agama membawa suara terdalam umat manusia dalam pencarian makna dan kedamaian.
Semangat itu juga tampak dalam penjiwaan Paus Fransiskus atas Nostra Aetate, dokumen Konsili Vatikan II tentang hubungan dengan agama-agama non-Kristiani. Gereja, tulis dokumen itu, “tidak menolak apa pun yang benar dan kudus dalam agama-agama itu.” Paus Fransiskus bukan hanya mengafirmasi semangat tersebut, tetapi menghidupinya dan mewujudkannya lewat dialog lintas iman, ziarah spiritual, dan penghargaan terhadap kebijaksanaan serta tradisi setempat dari setiap komunitas masyarakat.
Di bumi Nusantara ini, semangat Paus Fransiskus berpadu harmonis dengan nilai-nilai luhur Islam Nusantara dalam wujud tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan tawadhu’ (kerendahan hati). Karena itu, sebagai pemimpin lebih dari satu miliar umat, ia justru menjauh dari kecenderungan memonopoli kebenaran. Ia menyatakan bahwa kasih Allah lebih luas daripada sekat-sekat agama dan dogma manusia. Kasih yang lembut dan sabar—seperti tangan Maria yang mengurai simpul kehidupan.
Kini, Sri Paus Fransiskus telah pergi. Tetapi warisannya tetap hidup dalam cara kita berdialog, dalam cara kita menyapa yang berbeda, dan dalam upaya kita menjaga dunia sebagai rumah bersama. Seperti ditulisnya dalam Fratelli Tutti, “Setiap agama yang otentik mengajarkan agar kita mencintai, menghormati, dan membantu sesama manusia, tanpa membedakan” (FT 271).
Paus Fransiskus mengajar dengan cara menghidupi ajarannya. Ia menjadi saksi, bukan sekadar pewarta. Dengan demikian, ia menjawab harapan Santo Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Missio: “Manusia (terutama di zaman ini) lebih percaya kepada seorang saksi ketimbang seorang guru; dan jika mereka percaya kepada seorang guru, itu karena ia juga adalah seorang saksi” (RM 42).
Buon viaggio, Sua Santità. Selamat jalan, Bapa Suci. Selamat jalan saksi terpercaya. Selamat jalan, putra Maria sang pengurai simpul kehidupan. Di bumi Nusantara ini, kami akan terus melanjutkan warisanmu: Merajut perdamaian, menyulam kasih, dan menjaga bumi ini sebagai rumah yang ramah untuk semua agar kami dapat menemukan harapan yang dijanjikan oleh Allah, Tuhan semesta langit dan bumi.
R.D. Leo Mali, imam Katolik; alumnus Fakultas Filsafat Universitas Kepausan Urbaniana, Roma; pengajar di Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
5
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
6
Inses dalam Islam: Dosa Terbesar Melebihi Zina, Dikecam Sejak Zaman Nabi Adam!
Terkini
Lihat Semua