Warta

"Santri Tetaplah Berkreasi"

Sabtu, 18 Februari 2006 | 03:23 WIB

Jakarta, NU Online
Orang-orang pesantren mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai karya sastra. Sebagian menjadikan sastra sebagai hal biasa dalam tradisi pesantren, maka sastra harus dikembangkan dan bahkan diadaptasikan. Sebagian menilai sastra sebagai hal tabu, identik dengan permainan dan penentangan terhadap tradisi dan nilai-nilai yang ada di pesantren. Ternyata kalangan terakhir inilah yang sangat dominan sehingga sastra pesantren selalu melawan arus.

"Secara substansial sastra pesantren tidak terpinggirkan. Ini ada hubungannya dengan kekuasaan. Ada dominasi kekuasaan tertentu seperti ulama atau misalnya melalui institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI)," kata Arif Mudatsir Mandan, seorang mantan peneliti dan aktivis program pemberdayaan pesantren, pada acara diskusi NU Online bertajuk "Dinamika Sastra Pesantren: Antara Kreasi dan Diskriminasi" di PBNU, Jum’at (17/2).

<>

Kalangan yang terakhir ini, menurut Arif, hanya berkonsentrasi pada tataran fikih sehingga yang ada hanyalah halal haram; menjadi pasif dalam menyikapi realitas sosial yang sedang terjadi atau diperkirakan akan terjadi. Gejolak hati untuk memunculkan kreatifitas, semisal melalui karya sastra, menjadi tersumbat.

Faktor lain yang menghambat kreatifitas sastra di pesantren, kata Arif, adalah semangat asketisme atau semacam gaya hidup sufistik yang berlebihan atau katakanlah kecenderungan yang agak jabarian, menyerahkan semua kepada Tuhan. "Yang begini-ini sulit dituangkan dalam cerita fiktif. Para santrawan pesantren dengan demikian tidak bisa lepas menuliskan yang yang ada di hati," kata Arif.

Mantan sastrawan pesantren yang hingga kini masih senang berpuisi ini berharap agar beberapa hal yang menghambat kreatifitas sastra tidak menjadikan para santri berhenti berkreatifitas. Menurutnya, sastra pesantren perlu dikembangkan sebagai media yang "indah" bagi kalangan pesantren untuk menyuarakan aspirasinya.

"Materi ajar pesantren seperti kitab Imriti dan Alfiyah yang ditulis dalam bentuk nadzam-nadzam, itu kan sastra. Materi-materi inti di pesantrenseperti tauhid, fikih, dan tasawuf biasanya ditulis dengan bahasa yang indah, bahkan banyak yang berupa lagu-lagu. Jadi sebenarnya tradisi sastra telah mengakar kuat di pesantren. Mari kita berkarya, biar orang yang menilai. Sastra yang ada di pesantren jangan cuma dihafal dan dibaca saja agar mendapat pahala dan masuk surga," katanya. (nam)