Warta

Fikrah Nahdliyah dalam “Kepungan”

Senin, 9 April 2007 | 13:10 WIB

Jakarta, NU Online
Upaya Nahdlatul Ulama (NU) untuk mengembangkan fikrah nahdliyah atau pokok-pokok pemikiran ke-NU-an mengalami banyak kendala. Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa fikrah nahdliyah tersebut sedang berada dalam “kepungan” berbagai macam ideologi dan pemikiran lain.

Karenanya, menurut Doktor Kehormatan bidang Peradaban Islam itu, pemikiran khas NU yang terdapat dalam fikrah nahdliyah itu masih memerlukan kajian yang lebih mendalam hingga kemudian menjadi ‘matang’ dan siap disosialisasikan, baik secara tertulis maupun lisan kepada masyarakat.

<>

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang Jawa Timur, itu mengatakan, sekarang, tantangan yang dihadapi NU di antaranya faktor regenerasi. NU yang telah melewati masa tiga generasi, menurutnya, penurunan perhatian pada masalah yang idealis. “Ini telah mengakibatkan ketidakpedulian dan ketidaktahuan terhadap NU,” ujarnya pada Halaqah Pemberdayaan Syuriah, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Faktor berikutnya adalah semangat kebebasan atau liberalisasi pemikiran. Menurutnya, faktor tersebut berperan besar dalam melahirkan kelompok-kelompok tertentu yang sekaligus menjadi tantangan bagi NU. Di antaranya, kelompok radikal keagamaan (tasyaddud fiddien), baik pemikiran (tatorruf fiqri) maupun tindakan (tatorruf haroki).

“Ini sebagian besar dipicu oleh masuknya pemikiran internasionalisme Islam (persatuan umat Islam yang berada di bawah satu kepemimpinan tunggal, Red) yang umumnya berasal dari Timur Tengah. Tujuannya untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia sesuai dengan negara yang ia datangi,” papar Hasyim.

Kelompok tersebut, kata Hasyim, memiliki ciri tidak menghormati perbedaan kondisi kenegaraan dan sosial politiknya serta keragaman budaya setempat. Mereka hanya mengambil alih atau menerapkan ulang suatu metodologi atau paham tanpa menghargai kebudayaan setempat.

Hasyim mengungkapkan, wujud daripada internasionalisme Islam itu ada beberapa hal, “Pertama yang bernuansa Wahabiyah (penganut paham Wahabi). Ini meliputi fikriyah (pemikiran) dan harakiyah (gerakan). Kedua gerakan politik yang tidak seimbang dengan agama tetapi menggunakan tema agama,” tandasnya.

Menurut Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu, kelompok tasyaddud ketiga adalah lemahnya gerakan tawassuth (moderasi). Mereka menganggap tawassuth dan i’tidal (konsistensi) adalah tawakkuf (jumud) sehingga memunculkan radikalisme, reaktif, bukan konsepetual.

“Di sisi lain, liberalisasi pemikiran dalam agama menggunakan ukuran-ukuran Barat, sehingga posisi-posisi fikih diganti masolihul mursalah (kaidah mengenai kemaslahatan) yang tanpa manhaj (metode). Maka lahirlah hermeneutika (penafsiran) dengan ukuran-ukuran ammah (masyarakat) yang tidak seimbang antara pemikiran dengan maslahah (kesejahteraan) hidup,” urai Hasyim.

Menurutnya, semua hal itu secara sistemik merupakan gerakan yang mendunia. Namun, para penganutnya di Indonesia dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu mereka yang memang merupakan bagian dari gerakan global, tetapi ada juga yang sekedar ikut-ikutan karena khawatir kalau dianggap tidak maju. Sebaliknya, yang terjadi adalah terlalu maju.

Aliran tersebut tidak kecil pengaruhnya karena langsung mengancam pemikiran, termasuk budaya. Mereka secara perlahan tapi pasti akan menggantikan hampir seluruh norma agama.

“Saya ambil contoh, orang sudah tidak lagi berpikir; bersinggungan dengan lain jenis dalam keadaan berdesak-desakan, batal atau tidak, dan tak lagi berpikir bersalaman itu mukhtalaf (masih diperdebatkan) atau tidak karena sudah lebih dari itu. Dan ini sebenarnya disebabkan liberalisasi pemikiran, tetapi juga budaya,” tegasnya.

Saat ini upaya mengontrol terhadap pikiran sudah tidak bisa dilakukan dengan alasan bahwa pikiran adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrol dan diatur perundangan sehingga pakem menjadi hilang.

“Akhirnya Ahmadiyah yang ekstrim (zindik), yang setengah mbah suro (kebatinan, red), ini tumbuh subur di tengah tarik menarik antara tatorruf yamani (ekstrim kanan) yang tasyaddud (keras) dengan tatorruf yasari (ektrim kiri) yang tasyahul (menyepelekan hukum),” jelas Hasyim. (mkf)