Warta

Tinggal Bagaimana Sastra Pesantren Memberi Kekhasan Sikap

Sabtu, 18 Februari 2006 | 05:15 WIB

Jakarta, NU Online
Karya sastra dapat membantu kita memahami apa yang bergerak dalam suatu kebudayaan. Demikianlah seharusnya sastra pesantren diamati. Dengan begitu kita akan memahami kekhasan sikap kalangan pesantren, dalam hal ini para sastrawannya, terhadap realitas modern yang didominasi oleh semangat kapitalisme global.

Budayawan Radhar Panca Dahana sejak awal menyangsikan penamaan "sastra pesantren". Istilah ini problematis, sengaja dibuat-buat untuk sekedar membedakan diri dari yang lain, mencoba-coba membentuk karakter sendiri.

<>

"Dulu mungkin sastra pesantren bisa diidentifikasi, sekarang tidak bisa lagi. Sastra semuanya sama. Sastra, misalnya, masuk sebagai lembaga kultural yang menjadi pelantara dalam distribusi pemahaman agama," kata Radhar di PBNU, Jum’at (17/2).

Menurut Radhar, Mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempunyai peran penting dalam merilis sastra baru di dunia pesantren. Gus Dur tidak sekedar mengajak warga pesantren keluar dari terma "pesantren sebagai ideologi" namun telah membuka ruang baru bagi kekusastraan pesantren.

"Gus Dur juga tidak sekedar pernah menjadi ketua ketoprak bernama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Selama ini pesantren tenggelam dalam angapan sebagai grombolan orang-orang yang kuno, konservatif, kumuh, dan sebagainya. Ketika Gus Dur membuka pintunya, orang-orang pesantren langsung membrondong keluar," katanya.

Radhar mengatakan, Gus Dur telah memberikan ruang baru dan ruang itu disambut dengan sangat bersemangat oleh para sastrawan dari kalangan pesantren. Dia mencontohkan, dalam soal gender dan seks para sastrawan pesantren justru paling kreatif. Karena itu penamaan sastra pesantren yang seakan identik dengan kaum sarungan yang saleh itu semakin problematis.

Menurutnya, yang terpenting adalah sikap para sastrawan pesantren terhadap realitas modern. "Dari situ kita bisa lihat apa yang terjadi dalam gerakan kebudayaan NU. Kita tahu kapitalisme tidak bisa dihindarkan lagi dari diri kita. Kapitalisme juga menyebabkan Indonesia rusak. Kalau kita mau itu ya tidak apa-apa, kalau ndak mau ya silahkan," katanya. (nam)