Warta BANTUAN NU UNTUK KORBAN GEMPA BENGKULU (4)

Transmigran, Motor Penggerak NU di Bengkulu

Sabtu, 22 September 2007 | 09:31 WIB

Bengkulu, NU Online
Dalam rangka mengikuti perjalanan untuk membantu korban gempa di Bengkulu pada tanggal 17-19 September lalu, NU Online menemukan sebuah fenomena menarik bahwa sebagian besar pengurus NU, merupakan orang Jawa yang menjadi transmigran.

Peranan para transmigran dalam menghidupkan tradisi dan jamiyah NU ini didasari pada kebutuhan untuk tetap bisa menjalankan amalan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari ketika tinggal di pulau Jawa.<>

Para transmigran yang datang dari kantong-kantong NU seperti Pasuruan, Jember, Jombang, Ponorogo Wonogiri, Wonosobo dan lainnya mulai membentuk kepengurusan tingkat Ranting dan Majelis Wakil Cabang (MWC) yang setingkat kecamatan.

Kiai Muhyiddin yang berasal dari Jember, begitu tiba di desa Lebak Mukti kec. Tran Trunjam Mukomuko, ia segera membentuk kepengurusan NU setempat dan merawat berbagai kegiatan yang menjadi tradisi NU seperti dibaan, barzanji, istighotsah, bahtsul masail, maupun perayaan peringatan hari-hari besar Islam.

Kini Ketua PWNU Bengkulu KH Abdullah Munir berasal dari Jombang, Ketua PCNU Bengkulu Utara Damari SH yang sekarang menjadi Kabag. Kesra Bengkulu Utara juga berasal dari Jombang, dan Salim, Ketua MWC NU Padang Jaya juga berasal dari Jombang. Pengurus NU di daerah lain juga tak jauh-jauh merupakan orang yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Gerakan Pemuda (GP) Ansor juga sangat dikenal di masyarakat Bengkulu. Mereka telah menjadi bagian dari dinamika masyarakat. Bupati Mukomuko Ichwan Junus saat ini merupakan anggota Ansor yang pada akhirnya membuat Ansor semakin dikenal. Kader-kader Ansor juga banyak yang terlibat dalam pemeritahan desa. Di Mukomuko, kini terdapat 13 kepada desa yang merupakan kader Ansor, salah satunya adalah kepada desa Wonosobo.

Karena banyak anggota masyarakat yang berasal dari Jawa, Tak heran, dalam komunikasi sehari-hari, bahasa Jawa, baik ngoko maupun kromo terasa akrab ditelinga. Generasi ke dua dan ketiga dari para transmigran itu juga tetap menggunakan bahasa Jawa, bahkan banyak penduduk lokal yang hidup dilingkungan transmigran kini fasih menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga makanan, menu-menu Jawa tetap menjadi pilihan.

Pendidikan ala pesantren yang menjadi basis bagi perkembangan NU juga tumbuh dan berkembang melalui tangan-tangan para perantau dari Jawa itu. Meskipun begitu, perkembangannya belum sepesat seperti yang ada di Jawa. Tengoklah, pesantren Al Qur’aniyah yang mencetak para hafidz dan hafidhoh, kini diasuh oleh KH Abdulllah Munir, Rais PCNU Mukomuko KH Yasirun Azizi kini telah mengasuh sekitar 200 santri di Ponpes Miftahul Ulum, Pesantren lain seperti Darunnajah baru memiliki santri 40-an.

Banyak kendala yang harus dihadapi dalam pengembangan pesantren ini. Kiai Salim, Ketua MWC NU Padang Jaya menyatakan pendirian sekolah-sekolah negeri di dekat pesantren telah mematikan pesantren itu. “Begitu sekolah negeri dibuka, murid-murid pada pindah. Saya tak tahu, apakah madrasah saya tahun depan masih berjalan karena hanya beberapa murid yang mendaftar,” tuturnya.

Akibat gempa yang menggetarkan Bengkulu pada hari Rabu (12/9), kini banyak bangunan masjid, musholla dan pesantren yang menjadi pusat kegiatan keagamaan nahdliyin rusak. Uluran tangan dari warga NU didaerah lainnya sangat diperlukan untuk memulihkan kondisi seperti semula. (mkf)