Daerah

Wakil Rais Aam PBNU Jelaskan Posisi Politik NU di Pemilu 2024

Senin, 26 Desember 2022 | 14:15 WIB

Wakil Rais Aam PBNU Jelaskan Posisi Politik NU di Pemilu 2024

Wakil Rais Aam PBNU KH Anwar Iskandar saat menutup Muskerwil NU Jatim di Pesantren Mojosari Nganjuk, Ahad (25/12/2022). (Foto: NU Online/Firdausi)

Nganjuk, NU Online 
Pemilu yang akan dihelat pada tahun 2024 tidak pernah menggeser posisi NU dari Khittah Nahdliyah 1926. Bahkan tidak punya keinginan untuk bergeser dari putusan Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Krapyak Yogyakarta yang melahirkan 9 pedoman berpolitik bagi warga NU.

 

Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Anwar Iskandar pada acara Penutupan Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) PWNU Jatim di Pondok Pesantren Mojosari, Nganjuk, Ahad (25/12/2022).

 

Menurutnya, khittah menjelaskan bahwa politik bagian dari hak dasar dari warga negara. Artinya, politik itu sesuatu yang sah dan tidak boleh dihalang-halangi. Karena esensi politik adalah sebuah kebaikan. Di dalamnya ada upaya untuk mendatangkan kemaslahatan dan manfaatan bagi kepentingan orang banyak.

 

Lebih lanjut, yang dimaksud esensi politik, ada upaya dari pelaku politik melalui kewenangan yang ada untuk membuat kebijakan publik yang memberi manfaat pada masyarakat. Sebagaimana tertera dalam mukaddimah ilmu politik pesantren, politik adalah menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia agar bermanfaat dan maslahat pada banyak orang.

 

"Kita tidak boleh mengatakan semua politik jelek. Misalnya rebutan kursi, saling memfitnah, memikirkan uang saja, dan sebagainya. NU tidak berpendapat seperti itu. Di dunia ini tidak ada yang mutlak atau absolut, kecuali Allah," ujarnya saat memberi taujihat pada musyawirin NU se-Jatim.

 

Kiai Anwar Iskandar menegaskan, politik kekuasaan bukan "maqam NU". Tetapi maqamnya adalah politik moral dan negara kebangsaan. Keduanya tidak bisa dihindari dan kader harus berada di maqam tersebut.

 

Tak hanya itu, wilayah politik NU hanya satu yakni menyelamatkan negara. Mulai dari Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, wajar jika Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggenjot Halaqah Fiqih Peradaban.

 

Maqam kedua NU, kata dia, berada di politik value yang di dalamnya ada etika politik dan nilai-nilai politik yang saat ini jarang digarap, seperti kejujuran dan keadilan yang dijalankan oleh pemegang kebijakan dan senantiasa mengindahkan nilai-nilai akhlak.

 

Diceritakan, bagaimana dulu Umar bin Khattab mencontohkan pada anaknya yang sedang belajar di tempat kerja Umar yang memakai lampu. Kemudian Umar mengatakan pada anaknya agar tidak menggunakan minyak yang ada di dalam lampu tersebut, karena minyak itu dibeli menggunakan uang rakyat.

 

"Kalau di masa sekarang, kurang hati-hati, tidak sembarangan menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi hingga menjadi koruptor. Jika dibiarkan, kasihan bangsa ini. Siapa yang akan menjadi panutan kalau kita tidak menjalankan amar makruf nahi munkar," paparnya.

 

Selain itu, beliau mencontohkan hilangnya ruang value dan ditinggalkan oleh manusia, misalnya LGBT. Dikatakan olehnya, penyebab LGBT dilatarbelakangi pengelolaan pendidikan yang tidak peduli lagi pada agama. Programnya hanya berorientasi pada knowledge dan skill. Sedangkan pendidikan agama, dipasrahkan pada keluarga.

 

"Sebaliknya, jika politik tidak memiliki value, maka akan kehilangan jati diri dan ruh. Jadi, kader-kader politik tidak hanya dicekoki dengan dunia politik dan ekonomi. Tetapi dibekali dengan dasar-dasar akhlak. NU harus masuk dalam politik moral dan negara kebangsaan. Mari kita dandani akhlak pada politik ini dengan akhlak," imbaunya.

 

Kiai Anwar Iskandar menegaskan, yang paling penting dalam momentum Pemilu 2024, jangan sampai persatuan bangsa terpecah belah. Oleh karenanya, NU tidak setuju dengan politik identitas yang menyalahgunakan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) guna menjatuhkan lawan. Termasuk lembaga agama agar tidak dijadikan kepentingan politik.

 

Ia menyarankan agar fokus pada Jawa Timur terlebih dahulu. Terutama menyolidkan, satu barisan, memiliki kekuatan besar. Baginya, NU tidak memikirkan prinsip "NU untuk NU". Tetapi NU untuk umat, agama, bangsa dan negara.

 

"Betapa mulianya yang dicita-citakan muassis, NU dihadirkan di tengah-tengah kehidupan ini untuk mempertahankan Islam Aswaja. Muaranya adalah untuk Indonesia dan dunia yang memberikan solusi bangsa dan dunia," ungkapnya.

 

Di manapun, kata dia, NU diakui sebagai penyangga utama NKRI. Namun pengakuan tersebut harus dibuktikan. Tidak boleh cukup puas dengan kehebatan dan kebesaran. Menurutnya, hasil Muskerwil dan Muktamar jadi upaya untuk menguatkan NU.

 

Untuk itu, sambungnya, pengurus NU harus tertib. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib mengatakan hakikat aturan yang dibuat harus mencapai kedigdayaan. Cita-cita tidak harus dirasakan hari ini, tapi suatu saat nanti akan dirasakan oleh generasi selanjutnya.

 

"Mari kita kuatkan NU agar tercipta perdamaian dunia. Dulu muassis menanam. Sekarang kita memanfaatkan dan tetap mempertahankan tanaman itu dengan pengelolaan yang profesional. Ingat, menanam NU adalah perjuangan yang tentunya ada pengobanan. Tidak ada keberhasilan tanpa pengorbanan," tandasnya.

 

Kontributor: Firdausi
Editor: Aiz Luthfi