Nasional

Gus Baha Ajak Kodifikasikan Pemikiran KH Maimoen Zubair

Jumat, 29 Oktober 2021 | 01:00 WIB

Gus Baha Ajak Kodifikasikan Pemikiran KH Maimoen Zubair

Almaghfurlah KH Maimoen Zubair. (Foto: NU Online/Fathoni)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahaudin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan, untuk menjaga orisinilitas pemikiran KH Maimoen Zubair (Mbah Maimoen) adalah dengan cara menuliskannya. Menurutnya, ini penting supaya orang tidak salah manafsiri pemikirannya akibat tidak ada dokumentasi tertulis.


“Kalau (pemikiran) Mbah Maimoen tidak dibukukan, bisa seperti itu (salah ditafsiri). Karena orang tidak akan menafsirkan sesuai dengan panduan guru-gurunya, bersambung sampai ke Rasulullah saw,” jelas Gus Baha saat mengaji kitab Maslakut Tanassuk di unggahan video YouTube dua pekan lalu. 


Gus Baha mencontohkan salah satu pemikiran Mbah Maimoen tentang relasi agama dan politik. Menurutnya, dalam pandangan Mbah Mainoen, antara ulama dan umara harus berseinergi, bukan justru dihadap-hadapkan. Hal itu tercermin dengan sikap Mbah Maimoen yang merestui anak-anaknya untuk terjun ke dunia politik.


“Coba kalau ini tidak ada rawinya (tidak terkodifikasi), nanti dikira hanya untuk mencari gaji,” kata kiai asal Rembang, Jawa Tengah tersebut.


Gus Baha menilai, bagaimana pun warisan ilmu yang telah diberikan oleh KH Mainun Zubair tidak cukup hanya dihafalkan, tetapi juga harus ditulis. “Karena hanya dengan ditulis, ilmu akan abadi,” imbuhnya.


Gus Baha mengkhawatirkan, andai pemikiran Mbah Maimoen tidak dibukukan, khawatir nasibnya sama dengan fikih Imam Laits bin Sa’d. Padahal, Imam al-Laits terkenal sebagai ulama yang keilmuannya sangat mumpuni, bahkan lebih ‘alim dari Imam Malik. Tapi karena para pengikutnya tidak membukukannya, madzhabnya hilang ditelan zaman.


“Jadi, nasib ulama yang madzhabnya hilang itu Laits bin Sa’d,” kata Gus Baha.


Selanjutnya, ia mencontohkan salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah saat peristiwa fathu Makkah (penaklukan kota Makkah). Ketika para sahabat berhasil menaklukkan kota Makkah, mereka melakukan thawaf dengan berjalan kaki. Berbeda dengan para sahabat, Nabi thawaf dengan mengendarai unta.


Andaikan peristiwa thawaf itu tidak ditulis oleh ulama, lanjut Gus Baha, bisa saja terjadi salah tafsir. Orang akan menganggap Nabi berbuat semaunya, enak-enakan thawaf pakai unta, sementara yang lain jalan kaki. Tapi karena ulama menulis peristiwa itu, kemudian ditafsiri bahwa sikap Nabi itu menjelaskan bahwa berjalan kaki bukan syarat sah thawaf, tapi boleh dengan berkendara.


“Imam Nawawi bahkan menjelaskan bahwa yang dilakukan Nabi itu fardhu. Karena Nabi harus menjelaskan bahwa berjalan bukan syarat sah thawaf,” papar Gus Baha.


Cita-cita Mbah Maimoen

Pada kesempatan itu, Gus Baha juga memaparkan cita-cita KH Maimoen Zubair, yaitu ingin berkumpul dengan ahlul bait (keluarga Nabi). Cita-citanya tercapai bukan secara ma’nawi saja, tetapi juga secara jasmani. Pasalnya, semasa hidupnya Mbah Maimoen sudah dekat dengan ahlul bait, pun wafatnya dimakamkan di pemakaman Ma’la dan posisinya dekat Sayyidah Khadijah.


“Mbah Moen itu di Ma’la bukan sekadar di Ma’la, tetapi yang sangat dekat dengan Sayyidah Khadijah. Agak ke bawah ada Sayyid Muhammad, Sayyid Alawi, Sayyid Abbas. Agak bawahnya lagi, Syekh Nawawi Banten,” terang Gus Baha.


Kontributor: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad