Opini RIJAL MUMAZZIQ

Doktor Humoris Causa Gus Dur

Jumat, 10 Januari 2014 | 12:00 WIB

Saat kunjungan kenegaraan di Kuba, Fidel Castro mendatangi hotel tempat Gus Dur dan rombongannya menginap. Mereka pun terlibat pembicaraan hangat, menjurus serius. Agar pembicaraan tidak terlalu membosankan, Presiden Gus Dur pun mengeluarkan jurus andalannya, yaitu guyonan.



Beliau bercerita pada Fidel Castro, bahwa ada tiga orang tahanan yang berada dalam satu sel. Para tahanan itu saling memberitahu bagaimana mereka bisa sampai ditahan. "Saya dipenjara karena saya anti dengan Che Guevara," kata tahanan pertama. Seperti diketahui Che Guevara memimpin perjuangan kaum sosialis di Kuba.

 

Tahanan kedua berkata geram."Oh kalau saya dipenjara karena saya pengikut Che Guevara!”

Mereka berdua terlibat perang mulut. Tapi mendadak mereka teringat tahanan ketiga yang belum ditanya. "Kalau kamu kenapa sampai di penjara di sini?” tanya mereka berdua kepada tahanan ketiga.


Lalu tahanan ketiga itu menjawab dengan berat hati.

"Karena saya Che Guevara…”

 

Fidel Castro pun tertawa tergelak-gelak mendengar guyonan Gus Dur tersebut.

--------------------

Pembaca tentu masih ingat sosok Gus Pur, tokoh ”tembakan” Gus Dur dalam acara parodi politik di sebuah stasiun TV? Gus Pur, yang diperankan dr. Handoyo, dalam salah satu episode Kick Andy, mengakui satu hal yang tidak bisa ”dijiplak” dari Gus Dur adalah kecerdasan membikin humor segar.

Ya, salah satu ciri khas yang melekat pada jatidiri Gus Dur adalah sifat humorisnya. Tak heran jika selain dikenal sebagai produsen gagasan, Gus Dur juga dikenal sebagai pabrik joke. Bahkan ketika tergolek sakit, Gus Dur masih sempat-sempatnya melontarkan guyonan.

Secara lengkap humor Gus Dur maupun anekdot mengenai dirinya telah dikodifikasikan dalam buku Gitu Aja Kok Repot ( 1999) dan Saya Nggak Mau Jadi Presiden Kok! (2001), keduanya karya Hamid Basyaib. Gus Dur Taruhan Kathok Kolor (Tim Tabloid Warta: 1999), serta Presiden Gus Yang Dur Itu (Mas’ud Adnan: 2000). Yang berbahasa Jerman juga ada, yaitu karya Johanna Pangestian-Harahap berjudul Lachen mit Gus Dur: Islamischer Humor aus Indonesien. Sebagian lagi tercecer di Tawashow Di Pesantren (Fikri AF : 1999), Kelakar Madura Buat Gus Dur (Sujiwo Tejo: 2001) dan Humor Kiai (Ahmad Mustofa : 2005). Di website Gusdur.net serta okezone.com juga rutin dimuncukan humor-humor menggelitik dari Gus Dur.

Memang, membuat humor yang mampu meledakkan tawa pendengar membutuhkan keahlian khusus. Misalnya menembakkan lelucon pada saat yang tepat, lalu mengakhirinya dengan kejutan yang menggegerkan. Humor juga butuh daya kejut dan berdaya cegat (unsur sensasional), merangsang penikmat untuk berpikir (olah intelejensia), melakukan kontrol dan kritik sosial, serta tentu saja mengandung aspek edukatif. Itulah tantangannya. Untunglah, Gus Dur berhasil memenuhi pra-syarat ini.

Suatu saat, ketika ditanya tentang "hobinya" ini, bagi Gus Dur, humor sudah menjadi makanan sehari-harinya. "Gus, kok suka humor terus sih?" tanya seseorang, yang kagum karena humor Gus Dur selalu berganti-ganti. "Di pesantren, humor itu jadi kegiatan sehari-hari," jelasnya. "Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat," sambungnya.

Seorang kiai memang ”wajib” memiliki sense of humor, baik dalam konteks kepekaan dan keahlian untuk melontarkan humor, maupun dalam rangka menertawakan diri sendiri, agar terhindar dari sikap takabur. Di dunia pesantren, selain merupakan bagian dari karakter kearifan yang khas, humor juga merupakan kiat tersendiri; terutama sebagai siasat agar suasana tidak monoton, tegang, dan sumpek. Sikap ini tentu berkaitan dengan tugas kiai di bidang dakwah, agar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Inilah mengapa, humor bisa menjad oase maupun katarsis masyarakat untuk melepaskan diri dari belenggu ketegangan hidup.

Para pemimpin dunia, yang berpikir besar dan memiliki wawasan kenegaraan, bisa dipastikan punya sense of humor yang tinggi. Churchill, Nehru, Soekarno, adalah di antaranya. Di dunia Islam sendiri, khalifah Harun Arrasyid juga dikenal memiliki cita rasa humor yang tinggi. Khusus nama terakhir, memiliki punakawan eksentrik bernama Abunawas. Ia cerdik, lugu, legawa, luhur, dan tentu saja kocak. Abunawas-lah yang dalam kisah-kisah folklore, bisa leluasa menyindir, mengkritik, dan berani menertawakan sang khalifah bijak itu. Di dunia pewayangan kita, sosok Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong “bertugas” mencairkan ketegangan di istana. Ya, seorang pemimpin bisa bersi-kap adigang adigung adiguna, manakala tidak memiliki sense of humor.

Dari fungsinya, humor merupakan mekanisme penyalur dari apa yang disebut Arthur Koestler kandungan sifat agresif dan defensif dalam jiwa manusia. Agar kandungan defensif ini tidak tercetus dalam tindakan yang destruktif, ia harus disalurkan lewat humor. Untuk itulah Immanuel Kant menyebut humor sebagai sumber kekuatan yang memberi pengaruh kuat dalam mencairkan manusia dari ketegangan.

Abunawas Modern

Setiap kali kritik menghantam Gus Dur, selalu saja ada jawaban spontan yang tak terduga, yang membut pendengarnya tergelak. Sehingga, M Lukman Hakim, praktisi suf-istik itu, menjuluki Gus Dur sebagai Kiai Super Khos di Bidang Humorologi. Pakar ke-lirumologi Jaya Suprana, malah melekatkan gelar Doktor Humoris Causa, setelah berkali-kali Gus Dur mendapatkan gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di dunia.

Sikap humoris Gus Dur, harus dilihat dalam konteks pengereman diri agar tak terjebak sikap mengangungkan diri sendiri. Hal ini bisa dilihat dari keterbukaan dirinya menerima siapapun, tanpa membedakan latarbelakangnya. Melalui humor cerdasnya, Gus Dur bisa melontarkan kritik sosial-politik tanpa beban, sekaligus menjadikan dirinya ba-han lawakan. Melalui humor Gus Dur, pula kita bisa terhibur di tengah kondisi bangsa yang memiliki trauma politik-ideologis maupun krisis spiritual.

Tanpa kita sadari, Gus Dur telah menerapkan politik Abunawas. Jika kehidupan dianggap mempermainkan manusia, tidak bagi Abunawas. Ia malah mempermainkan ke-hidupan dan menyikapinya secara jenaka. Maka, wajar jika Abunawas menjadi referensi katarsis tatkala kepengapan sosial politik dan ekonomi menyekap masyarakat. Sosok Abunawas bukanlah sosok yang “kurang waras” dan kontroversial, sebab dia mendekati setiap masalah dari sudut pandang masalah itu sendiri. Maka ia bebas dari belenggu perasaan takut dan khawatir, sehingga ia tampak lebih kuat dibandingkan dengan orang lain.

Dan, sosok Abunawas tampaknya menjelma pada diri Gus Dur yang selama menjabat sebagai presiden memporakporandakan nilai-nilai politik yang selama ini dianggap “sakral”. Maka, ia melakukan demiliterisasi, desakralisasi kekuasaan, dan deformalisasi kepresidenan. Bisa jadi, bagi seorang doktor humoris causa seperti Gus Dur, humor adalah politik, dan politik adalah humor yang lain. Ah, gitu aja kok repot!