Opini HARI GURU

Menjadi Guru yang Digugu, Bukan Diguyu

Jumat, 25 November 2016 | 03:35 WIB

Menjadi Guru yang Digugu, Bukan Diguyu

Ilustrasi guru (konfrontasi.com).

Oleh Imam Bukhori

Guru pahlawan tanpa tanda jasa. Adagium inilah yang terngiang setiap kali memperingati hari guru nasional. Tentu ini bukan sekadar, namun penuh makna. Mengapa begitu hebatnya kedudukan guru. Guru yang bagaimana yang layak sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Apakah kita layak disebut demikian? Pertanyaan inilah yang berusaha dibahas dalam tulisan ini. 

Guru digugu lan ditiru. Demikianlah akronim bahasa jawa. Artinya guru adalah sosok yang segala ucapannya dapat dipercaya. Ditiru murid, teman sejawat dan ditiru masyarakat pada umumnya. Dulu, sekali lagi dulu-permasalahan apa saja yang terjadi di masyarakat selalu merujuk kepada apa kata guru. Karena memang ucapan guru dapat dipercaya, diyakini kebenarannya  bahkan dianggap bertuah. Bisa kualat kalau tidak nurut guru. Sedemikian ampuhnya guru zaman dulu. 

Ucapan guru dipercaya (Jawa: digugu) karena hampir apa yang diucapkan adalah apa yang diperbuatkan. Perkataannya cocok dengan perbuatannya. Sehingga prilaku guru memperkuat keyakinan orang untuk percaya apa yang dikatakan. Tindak tanduk dan prilaku guru efektif bisa ditiru. Bisa dicontoh dan selalu menjadi inspirasi bagi orng lain. Guru hebat adalah yang menjadi inspirasi. 

Orang lain -apa lagi murid tidak perlu lagi mendengar banyak nasehat untuk bisa menjadi murid yang baik. Ia cukup melihat dan bergaul dalam kesehariannya dengan guru. Maka prilaku guru dengan segera dan kuat sekali terinternalisasi dalam diri murid. Ahlak guru menular begitu effektif melalui laku, bukan ucapan dan nasehat. Lisanul haal afshahu min lisanil Maqal. Nasihat berupa prilaku jauh lebih terkesan dari pada nasehat berupa ucapan. 

Guru semacam inilah yang oleh Imam Ahmad bin Kholil disebutnya sebagai orang alim. Beliau menyatakan ada 4 jenis orang. Pertama, orang yang mengerti dan sadar  bahwa dirinya mengerti. Ciri khasnya adalah apa yang dikatakan adalah apa yang diperbuatkan. Dialah orang alim. Kepada orang jenis ini kita disuruh mengikutinya. Kedua, orang yang mengerti, namun tidak sadar bahwa dirinya mengerti. Ibarat orang tertidur atau lupa. Ciri khasnya adalah pengetahuannya tidak sama dengan perbuatannya. 

Sikap kita, ingatkanlah orang ini maka dia akan mengambil peringatan. Nasihat akan bermanfaat baginya. Ketiga, orang tidak mengerti namun sadar bahwa dirinya tidak mengerti. Ciri hasnya dia bisa merasa bodoh dan mau belajar untuk itu. Dia adalah seorang pembelajar. Ajarkanlah dia maka dia akan bisa menerima ajaran, mau berubah. Keempat, orang yag tidak mengerti dan tidak sadar bahwa dirinya tidak mengerti. Cirinya dia bodoh namun tidak mengakui.

Dia sok pinter. Tidak mau belajar ataupun bertanya, gengsi untuk dikatakan bodoh. Dia inilah orang bodoh sesungguhnya. Kata Imam Ahmad bin Kholil , kepadanya jangan berteman, hindarilah. Seorang guru idealnya adalah nomor satu. Yaitu orang yang alim. Guru seperti ini akan banyak memberikan manfaat kepada murid. Baik di dunia maupun di akhirat. 

Penulis sengaja menyebut murid untuk peserta didik. Penulis sadar bahwa dengan menyebut peserta didik mengesankan bahwa anak pembelajar itu aktif, tidak pasif. Dia memiliki potensi, yang  tugas guru adalah membantu dan memfasilitasi agar anak dengan potensinya tersebut  berkembang secara optimal. Baik domain afektif, kognitif maupun psikomotorik. Sertidaknya inilah yag sejalan dengan paradigma pendidikan kita yaitu pembelajaran konstruktivisme. 

Namun penulis juga sadar bahwa dengan menyebut murid terkandung makna lebih, yang tidak dimiliki sebutan lain seperti peserta didik, siswa dan anak didik. Sebutan murid mengesankan adanya orientasi masa depan yang sangat jauh dan utama yaitu kehidupan akhirat. Yakni anak pembelajar adalah anak yang sedang berproses untuk menuju Allah, mendekat kepada Allah demi kebahagiaan tidak sekedar dunia. Tapi lebih penting dari itu adalah kebahagiaan akhirat. Bukankah kata Nabi Muhammad; orang cerdik pandai adalah yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal demi kepentingan setelah mati? Maa ba’dal maut.

Pemahaman seperti ini membawa konsekwensi bahwa hubungan guru-murid bukanlah hubungan transaksioal. Ada bayaran maka ada jasa layanan pendidikan, bukan.  Namun hubungan saling menolong dan membantu, sama-sama menuju keridlaan Allah (ta’awun ‘alal birr wattaqwa). Ia berdimensi tidak sekedar dunia tapi akhirat. Guru untuk bisa mulia di sisi Allah memerlukan murid agar bisa mengajar dan memanfaatkan ilmunya. 

Dengan demikian ilmunya berkah. Sebaliknya murid memerlukan guru untuk menghilangkan kebodohan, menambah ilmu pengetahuan, bekal menjalani kehidupan yang lebih baik. Pola hubungan guru murid seperti inilah yang berdampak baik, menyentuh, terkesan, membentuk karakter murid dan bernilai ibadah. Guru yang membangun pola hubungan seperti inilah yang barang kali dimaksudkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai orang besar di kalangan langit. Yaitu orang yang belajar dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

Guru pahlawan tanpa tanda jasa tentu bukan guru yang segala aktivitasnya diukur dengan seberapa besar penghargaan yan diterima. Penghargaan bisa berupa gaji, tunjangan ataupun promosi dan pujian orang lain. Ciri khas kepahlawanan adalah kesediaan untuk berjuang dan berkorban. Berjuang tanpa mau berkorban adalah perilaku makelar. Berkorban tanpa nilai perjuangan adalah kepicikan. 

Jika guru sudah tidak bersedia lagi mengorbangkan kesenangan sesaatnya untuk memperjuangkan idealisme sebagai guru yang profesional menurut hemat penulis jauh dari sebutan guru pahlawan tanpa tanda jasa. Guru pahlawan layak namanya terkenang di hati murid. Namanya selalu hidup dalam sanubari murid. Kapanpun di manapun. Ketika murid-murid sudah sukses menjadi orang kelak nama pertama yang  diingat adalah nama gurunya, bukan orang tua, atau temannya. 

Layakkah kita disebut guru pahlawan? Dikenangkah nama kita ketika murid-murid kita kelak telah menjadi orang? Ataukah jangan-jangan nama kita akan selalu terusir dari hati murid-murid kelak. Tentu harapan kita sebagai guru adalah sebagaimana bait hymne guru ...namamu akan selalu hidup dalam sanubariku... Hal ini hanya akan terjadi jika guru menampilkan sosok guru yang digugu dan ditiru bukan sosok yang diguyu-guyu lan ditinggal turu (sosok yang diketawakan dan ditinggal tidur). Wallahu A’lam.  

Penulis adalah Pengurus PP Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Wakil Ketua I Bidang Akademik STAINU Jakarta.