Opini

NU dan Dunia Penyiaran Indonesia

Selasa, 31 Juli 2018 | 01:00 WIB

NU dan Dunia Penyiaran Indonesia

Ilustrasi (mediaindonesia)

Oleh: Ahmad Riyadi

Konferensi Wilayah (Konferwil) PWNU Jatim telah usai. KH Anwar Manshur dan KH Marzuki Mustamar terpilih sebagai Rais Syuriyah dan Tanfidiyah PWNU Jatim untuk periode 2018-2023. Selain menentukan nahkoda baru dalam tubuh NU Jatim, dalam Konferwil tersebut terdapat beberapa pokok bahasan yang menarik untuk diperhatikan, salah satunya terkait dunia penyiaran.

Dalam forum Bahtsul Masail terdapat pembahasan mengenai tayangan televisi berjudul Karma. Karma sebagaimana kita pahami bersama, memang kerap memunculkan nuansa kontroversi di tengah masyarakat. Tayangan tersebut setidaknya kerap menimbulkan kritik, sebab bertendensi menyebarluaskan masalah pribadi seseorang. 

Alhasil,  dalam forum Bahtsul Masail yang di dalamnya hadir para mushahih seperti KH Yasin Asmuni, KH Mahrus Maryani, KH MB Firjoun Barlaman dan KH Murtadho Ghoni serta para perumus yakni KH Asyhar Shofyan, KH Makmun Djazuli Mahfudz, Kiai Fauzi Hamzah, KH Ali Maghfur Syadzili dan KH Syihabuddin Sholeh yang dimoderatori oleh Ustadz M Khotibul Umam memutuskan bahwa yang menayangkan acara tersebut berhukum haram.

Dikatakan haram mengingat acara tersebut menayangkan Arrof atau Kahin (peramal). Di sisi lain juga mengandung unsur menyebarluaskan aib orang lain, mempublikasikan praktik keharaman, dan merusak akidah orang lain. Hukum haram juga berlaku bagi peserta serta mereka yang menontonnya, jika tujuan menontonnya bukan sebagai bahan kajian atau dlarbil amtsal (memberi contoh) untuk memberikan nasihat.  

Angin Segar

Keputusan Bahtsul Masaail Waqi’iyyah Konferwil PWNU Jatim terkait tayangan Karma memberi angin segar dalam dunia penyaiara kita. Sebagai salah satu organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, NU melalui Konferwil PWNU Jatim memberikan satu analisis, perhatian dan kritik terhadap dunia penyiaran. 

Sebagai medium sosialisasi, televisi memang tidak bisa ‘dibiarkan seenaknya’ menayangkan acara yang tidak mendidik, dan raib dari nilai kultur budaya serta agama. Sebagai salah satu aspek fundamental dalam pelbagai upaya pembentukan karakter bangsa, wajar saja jika tugas dan perilaku televisi mendapat perhatian ketat dari masyarakat. Bahkan, dalam konteks agama, tidak sedikit tayangan acara agama kerap menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Dalam konteks konten agama, nyatanya memang tak sedikit siaran televisi membuka ruang celah kritik. Konten agama yang bernuansa diskriminatif, intoleran dan bertendensi memecah solidaritas bangsa marak terjadi di layar televisi. Kapabilitas dari sang pemateri (dai) hingga 'pembiaran' yang dilakukan pihak televisi menjadi fenomena yang santer terjadi di media massa, khususnya televisi. Inilah kemudian yang disebut, meminjam bahasanya Edi AH Iyubenu (2018), sebagai 'pencurian marwah agama'.

Ketika kapabilitas kontekstualisasi agama, menyederhanakan ajaran agama sehingga mudah diterima, dan budaya tidak dipertentangkan dengan agama tidak dimiliki oleh para dai yang tampil di layar televisi, maka di sisi yang lain, konten siaran agama beranjak menjadi religiotaiment. Konten agama tak ubahnya menjadi barang hiburan. Bisa dibuat becandaan hingga menuntut rating tinggi untuk menarik iklan sebanyak mungkin.

Lemahnya kapabilitas pengetahuan agama dan budaya inilah yang dikritiki banyak pakar yang mempunyai konsentrasi terhadap aspek penyiaran, agama dan budaya. Kerap mereka menaruh curiga bahwa televisi menampilkan tayangan religi, asal usulnya hanya untuk meningkatkan peringkat rating. Maka tak penting sanad pengetahuan sang dai, sebab ia ditampilkan hanya untuk memenuhi syahwat bisnis dalam pendulangan iklan.

Gejala seperti di atas memang mengkhawatirkan. Lebih parah lagi, manakala tayangan religi memsimplikasi semuanya berdasarkan Islam. Tayangan yang demikian tentu menampakkan wajah bengis dan intoleran terhadap agama-agama lain selain Islam yang ada di Indonesia.

Adalah wajar ketika masyarakat Bali semisal, terlihat paling buncit menonton televisi yang menayangkan siaran religi. Sebab tayangan religi yang mondar-mandir di layar kaca televisinya tidak menunjukkan penyesuaian akan kebutuhan spiritualitas masyarakat Bali.

Pendapat di atas bukan tanpa data dan fakta. Komisi Penyiaran Indonesia Pusat melakukan survei indeks kualitas program siaran televisi bekerjasama dengan 12 universitas yang melibatkan 1200 responden. Salah satu daerahnya adalah Bali. Dalam survei tersebut dinyatakan tak lebih dari 10 persen masyarakat Bali duduk menonton siaran religi di televisi. Bahkan dari beberapa sample yang ditampilkan kepada masyarakat, salah satu lembaga penyiaran dengan siaran religinya hanya mencapai satu persen.

Survei yang dirilis pada tanggal 25 Juli 2018 ini, setidaknya membuka mata publik, terlebih insan penyiaran, bahwa tayangan religi telivisi masih jauh panggang dari api. Ada tugas rumah yang harus dikerjakan dan diperhatikan bersama. Apa yang kemudian menjadi hasil survei ini sebenarnya untuk menunjukkan koreksi bagi lembaga penyiaran. 

Sinergi 

Kepedulian NU terhadap dunia penyiaran sebenarnya bukan barang baru. Melalui para ulama dan kiai NU, kerap memberikan saran dalam dunia penyiaran hingga pada Konbes yang berlangsung di Nusa Tenggara Barat sedikit banyak telah mengupas pembahasan tentang frekuensi. Artinya bahwa, konsentrasi NU terhadap dunia penyiaran adalah upaya menjadikan dunia penyiaran—televisi hingga radio—fungsional terhadap kebutuhan masyarakat.

Gayung bersambut, tidaklah keliru jika konsentrasi ini disinergikan dengan stakeholder penyiaran, baik dengan lembaga masyarakat maupun instansi pemerintah yang fokus terhadap dunia penyiaran. Sebab disadari atau tidak, masyarakat membutuhkan siaran yang sehat, memuat keberagaman konten, dan punya kepedulian untuk mendidik. Wallahu a’lam.

Penulias adalah Demisioner Pengurus PMII DIY, Bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia Pusat.