Opini

Stereotip Gender dalam Undang-Undang dan Hukum di Indonesia

Kamis, 31 Januari 2019 | 13:15 WIB

Oleh Muhammad Syamsudin

Terbitnya Konvensi CEDAW dan ditandatanganinya Protokol Opsional CEDAW tentang penghapusan segala bentuk tindak diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum perempuan telah menjadi bagian kewajiban pemerintah untuk menyerap dan meratifikasinya dalam semua peraturan di berbagai tingkatan, mulai dari tingkatan nasional sampai dengan tingkat daerah. Dibentuknya Pokja (Kelompok Kerja) Khusus Perempuan pada kisaran era 2007-an merupakan bentuk keseriusan pemerintah guna mengimplementasikan upaya pemberdayaan (empowerment) melalui legislasi dan kebijakan publik. 

Namun demikian, upaya pemberdayaan tersebut masih menyisakan dilema dalam berbagai aspek, baik aspek yuridis konstitusional maupun aspek adat-istiadat yang mana Indonesia berada di wilayah Timur belahan dunia dan merupakan negara yang menganut budaya bias patriarki dalam ruang publik. Aspek religi yang membentuk dan mempengaruhi kultur Indonesia merupakan faktor penopang bagi pemegang kebijakan (pemerintah) dalam melakukan ratifikasi itu.

Sebelum kita menyoal jauh soal faktor dilema pemberdayaan kaum perempuan itu, ada baiknya kita rujuk dulu, sebenarnya apa yang menjadi fokus garapan dari upaya pemberdayaan kaum perempuan dalam CEDAW dan implikasinya terhadap peraturan perundang-undangan. 

Baca juga:
CEDAW dan Implikasinya terhadap UU Perkawinan di Indonesia
Menelusuri Batas Usia 16 Tahun sebagai Usia Minimal Menikah
Fokus pemberdayaan perempuan pada dasarnya merupakan upaya menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam semua lini bidang kehidupan, tak terkecuali adalah dalam bidang hukum dan politik. Caranya, adalah berupaya menyediakan akses bagi kaum perempuan dalam bolehnya ia mendapatkan kedudukan dan jaminan yang sama di muka hukum, menentukan keputusan-keputusan politik mulai dari tingkat rumah tangga sampai dengan kehidupan politik dan kemasyarakatan. Indikator keberhasilan dari usaha pertama ini adalah tersedianya akses yang sama kepada keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi perempuan. 

Sebenarnya perempuan di Indonesia sudah diakui sebagai subyek hukum sejak tahun 1974 lewat UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Ini sudah lebih mending dibanding periode sebelumnya yang menempatkan perempuan harus diwakili suara dan keputusannya  oleh suaminya dalam bidang yang berkaitan dengan urusan di luar rumah tangga, termasuk untuk mengurusi harta kekayaan milik pribadinya sendiri (Pasal 105 BW). Posisi ini sudah dikoreksi UU Perkawinan pada pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa “hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.” Yang disayangkan oleh pemerhati kaum perempuan adalah, bunyi Pasal 31 ayat 2 UU Perkawinan yang menegaskan bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Selanjutnya disampaikan dalam UU tersebut bahwa “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.” (Pasal 34 ayat 1 dan 2). 

Kedua ayat dalam UU Perkawinan ini dianggap sebagai yang telah melegalkan dan membakukan peran patriarki dan bersifat stereotip terhadap kaum perempuan dan menempatkannya sebagai makhluk domestik dan tergantung perekonomiannya kepada suami. Seolah, dengan kedua ayat pada UU Perkawinan ini, ada dikotomi kerja seksual antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga. Perempuana dalah urusannya dapur, dan dapur adalah berjenis kelamin perempuan.

Ini yang dipandang sebagai diskriminasi menurut hasil Konvensi CEDAW karena dianggap mengandung muatan diskriminatif dan mendistorsi peran dan potensi perempuan dalam hukum dan secara politis. Untuk hal ini kemudian terbit UU No. 7 Tahun 1984 yang memberikan penegasan bahwa tindakan diskiminasi yang harus dihapus adalah: “setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan, yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar “persamaan” antara laki-laki dan perempuan.”

Maksud dari diksi “persamaan” pada definisi diskriminasi menurut CEDAW di atas diartikan tidak hanya pada akses HAM yang sama bagi laki-perempuan, melainkan juga persamaan dalam hal “manfaat bagi kaumnya” dan “hasilnya”. Maksud dari kesamaan manfaat dan hasil ini adalah bahwa perempuan memiliki bakat dan potensi yang sama dengan kaum laki-laki. Ia memiliki kecerdasan, kemampuan dan daya dobrak yang sama terhadap institusi yang melembagakan kemapanan. Berbekal daya potensi yang dimiliki ini, lantas untuk apa perlu dibedakan lagi dengan kaum laki-laki dalam scope yang sebenarnya mampu ia jalankan dengan tidak meninggalkan fitrah kemanusiaannya. 

Inilah yang dimaksud oleh prinsip kesamaan itu. Jadi, bukan berarti bahwa perjuangan persamaan dalam bidang hukum, politik serta kesempatan berperan itu sebagai upaya mendistorsi peran kaum lawan jenisnya, melainkan “konteks sosial dan jaman” yang menghendaki ia bisa berlaku di ranah yang sama dengan kaum adam. Bukankah agama juga menganjurkan prinsip kesamaan tersebut? (Adhi Santiko, Ph.D dan Tim Pengkajian Hukum, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Optional Protocol CEDAW terhadap Hukum Nasional yang Berdampak pada Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional [BPHN], 2007, hal: 12-14)

Perkembangan teknologi informasi menjadi bagian dari kemudahan kaum perempuan mencapai akses yang bisa digapai oleh kaum adam. Perempuan mileneal juga bisa menyelesaikan pekerjaan kantor dengan hanya berbekal saluran dan jaringan internet. Perempuan juga bisa melakukan aktivitas kerja mencari nafkah tanpa harus meninggalkan komunitas yang ia miliki dan melalaikan kontruksi jasmaninya sebagai kaum hawa. Perempuan juga memiliki potensi kemampuan manajerial yang sama dibanding lawan jenisnya. Munculnya para politisi-politisi baru seperti Samara dan Grace Natalie, para pejabat perempuan yang kemampuannya diakui oleh dunia, seperti Sri Mulyani dan Susi Pujiastutik, menjadi faktor pemicu perlu dikoreksinya kembali bunyi-bunyi pasal dalam UU dan berbagai peraturan yang masih menyisakan stereotip gender. 

Koreksi terhadap produk kebijakan dan peraturan, bukan berarti lantas menisbikan bunyi teks nash dan kaidah-kaidah dasar agama yang mengatur soal perempuan. Bagaimanapun juga. agama merupakan barometer utama sebagai garis baku pemisah antara pemberdayaan perempuan yang bersifat liberal serta sekuler. Peran dan fungsi agama justru mendudukkan perempuan terhadap lawan jenisnya dalam posisi yang lebih humanis mengingat konstruksi sosial dan jaman memang sudah benar-benar berubah. Awal bagi Revolusi Industri 4.0 menjadi faktor utama yang menjadi bagian pertimbangan, karena jangankan kaum perempuan dengan tubuh sepenuhnya normal seratus persen, para penyandang disabilitas saja  yang dengan keterbatasannya mampu menjalankan dan mengakses semua informasi seolah tidak ada bedanya dengan kaum normal. Apalagi kaum hawa yang tidak mengalami disfungsi sosial dan organ tubuh tersebut. Wallâhu a’lam bish shawab.


Penulis adalah Pembina Forum Kajian Fikih Kewanitaan, PP Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Jatim