Warta

Impor Beras Berbahaya bagi Ketahanan Pangan

Kamis, 15 Februari 2007 | 04:26 WIB

Yogyakarta, NU Online
Pemerintah dinilai panik dan frustasi menyikapi persoalan perberasan yang meruncing karena harga beras di banyak tempat telah naik tajam. Keputusan pemerintah menambah jumlah beras impor sebesar 500.000 sangat membahayakan ketahanan pangan Indonesia.

”Bagi saya, ini sungguh keputusan politik yang tergesa-gesa. Alasan-alasan yang dibangun juga sangat klasik, produksi yang turun, konsumsi naik, jumlah penduduk naik, dan alasan-alasan instan reaktif lainnya,” kata KH. Mohammad Maksum, Wakil Ketua Penguruts Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta kepada NU Online di Yogyakarta, Kamis (15/2).

<>

Menurut Maksum yang juga peneliti di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gajah Mada (UGM), semua pihak harus duduk bersama dan mencermati urusan pangan dari perpektif jangka panjang. Keberlanjutan ketahanan dan kedaulatan RI harus diprioritaskan.

“Banyak yang harus kita telah sehingga tidak reaktif -impor begitu saja. Padahal itu membahayakan kedaulatan pangan dan RI kita. Selain itu impor beras untuk kebutuhan Operasi Pasar itu lebih banyak mubazirnya,” kata Maksum.

Dikatakan, mestinya pemerintah berangkat dari mempertanyakan kenapa OP yang baru-baru ini digencarkan selalu gagal dan tidak efektif. Menurut teori OP berfungsi untuk menyetabilkan harga, namun kenyataannya tidak demikian. “Misteri itu harus diungkap.. Harus kita sadari bahwa misteri itu ada,” katanya.

Gejolak perberasan memang menjadi kebiasaan tahunan. Pada Januari-Februari tahun ini kenaikan harga beras termasuk paling dahsyat. Namun, kata Maksum, perlu diingat bahwa ada kelambatan panen di satu fihak dan ada manipulasi pasar di fihak lain. Pembangunan pertanian harus dilakukan secara sistemik pernah sistemik dan tidak reaktif begitu saja.

”Apakah dengan impor persoalan selesai? Saya yakin tidak! Kecuali kita reorientasi membangun bangsa ini dengan mementingkan pertanian dan kaum sebagai kiblat dan pusat perhatian, bukan hanya sebagai semboyan seperti dulu. Tanpa memahami sistem pasar yang terjadi di balik dinamika harga ini, solusinya pasti reaktif, jangka pendek, dan tidak pernah selesaikan persoalan,” katanya. (nam)