Kesehatan

Perlunya Peran Keluarga, Masyarakat, dan Pemerintah untuk Atasi Gangguan Kesehatan Mental

Sabtu, 10 Agustus 2024 | 17:00 WIB

Perlunya Peran Keluarga, Masyarakat, dan Pemerintah untuk Atasi Gangguan Kesehatan Mental

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Dosen Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Very Julianto mengatakan, saat ini isu kesehatan mental belum menjadi isu utama seperti isu kesehatan fisik atau jasmani.


Ia kemudian memberikan contoh kecil bahwa di berbagai daerah, anak-anak usia PAUD atau SD sudah diajari untuk merawat kesehatan gigi dengan menggosok gigi. Namun di saat yang sama, belum ada integrasi kesehatan mental pada kurikulum pada anak-anak usia tersebut.


Isu kesehatan mental bisa dipopulerkan melalui komunitas-komunitas atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Selain itu, bisa juga lewat kurikulum, media online elektronik, dan media sosial.


Dalam ranah yang lebih luas, perlu adanya kebijakan yang fokus menanagani masalah kesehatan mental. Misalnya dengan melobi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar membuat Undang-Undang dengan melibatkan psikologi manusia.


“Hampir-hampir jarang ya, sangat sedikit sekali ketrelibatan psikologi dalam pengambilan keputusan menyangkut manusia. (Padahal) hukum dan juga produk perundang-undangan adalah diterapkan pada manusia. Harusnya hukum melibatkan psikologi manusia,” terangnya kepada NU Online pada Selasa (6/8/2024).


Ia menegaskan, stigma negatif terhadap penyintas mental intensitasnya masih sangat tinggi di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota kecil dan perdesaan.


“Mereka (saat berobat khususnya tentang masalah mental) lebih suka ke 'orang-orang pintar'. Jadi psikolog, psikiater (dan) RSJ dianggap tidak pintar gitu, ya,” ucap Very sambil terkekeh.


Masalah kesehatan mental, lanjut Very, sangat memprihatinkan karena masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki fasilitas kesehatan mental, bahkan belum memiliki rumah sakit jiwa (RSJ).  Minimal, apabila belum ada RSJ, perlu ada Puskesmas yang melayani pasien kesehatan mental.


"Ini yang perlu disadari pemerintah,” ujar Very.


Saat ini, isu mental serta layanan kesehatan mental makin populer seiring digitalisasi di berbagai bidang. Para psikolog bisa mengadakan layanan konsultasi psikologi online jarak jauh atau telemedicine.


“Ini yang sedang saya lakukan dan konsultasikan pada imigran di Hongkong dan Arab Saudi dan seterusnya, bisa via zoom,” lanjutnya.


Very menyebut masalah kesehatan di Indonesia dibagi menjadi tiga problem utama, yaitu awareness (kesadaran), knowledge (penegetahuan), dan access (akses pada fasilitas kesehatan).  


Untuk mengatasi hal itu, perlu sinergi antara pemerintah, lembaga-lembaga kesehatan, masyarakat, komunitas yang ada dalam Masyarakat serta keluarga.


“Kalau koordinasi bagus, kita bisa membantu orang lebih banyak dan bisa mengurangi stigma yang menghalangi mereka untuk mencari perawatan kesehatan mental,” jelasnya.


Hal yang lebih miris lagi, para penyintas kesehatan mental atau ODGJ mendapat penanganan yang kurang layak. Banyak di antara mereka yang dipasung, dikerankeng, hingga dibuang dan berkeliaran di jalanan. Ini menunjukkan penanganan kesehatan mental di Indonesia sangat memprihatinkan.


Ia menambahkan, untuk mengantisipasi fenomena ini perlu adanya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan pada ODGJ seperti pemasung atau kerangkeng. Selama ini, masyarakat menganggap perbuatan tersebut sebagai hal l wajar.


“Tapi kan ada acara lain yang harus dilakukan oleh masyarakat yang lebih sehat dan adaptif (manusiawi),” ujarnya.


Very menegaskan, pemerintah sebagai penyelenggara negara harus bertanggung jawab kepada ODGJ yang berkeliaran di jalan. Very mengatakan, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam menangani mereka, seperti pemakasimalan program reintegrasi dan rehabilitasi.


Rehabilitasi saja tidak cukup, karena setelah keluar dari panti rehabilitasi ODGJ, mereka perlu keterampilan untuk bertahan hidup. Bahkan, keluarga terkadang tidak mau mengakui mereka.


“Mereka perlu diberikan pekerjaan juga bahkan pelayanan kesehatan mental berkelanjutan agar tidak kambuh,” terangnya.


Selain itu, kata Very, keluarga memegang peran penting bagi pemulihan kesehatan mental ODGJ. Keluarga juga harus senantiasa mendukung ODGJ agar bisa hidup normal seperti orang pada umumnya.


“Keluarga perlu diedukasi agar mereka merawat orang yang terkena gangguan mental dengan sehat dan manusiawi. Bukan merawat yang tidak sehat dengan cara dipasung atau dikerangkeng itu nggak. Yang sehat dan masnusiawi,” ujarnya.


Very menegaskan perlu adanya dukungan dari masyarakat atau komunitas-komunitas terhadap keluarga yang anggotanya terkena gangguan mental. Bahkan mereka seringkali terganggu ekonominya karena tidak bisa bekerja demi merawat keluarganya yang terkena gangguan tersebut.


“Atau misalnya ada keluarga mau kontrol atau ambil obat itu ke rumah sakit jauh, kita perlu melakukan dukungan. Misalnya RT RW meminjamkan mobil biar dia bisa ke rumah sakit untuk mengambil obat. Apalagi (kalau sewa) mobil habis jutaan (misalnya),” paparnya.


Pemicu gangguan kesehatan mental

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Lu’luatul  Chizanah mengatakan, banyaknya kasus-kasus gangguan kesehatan mental merupakan masalah yang sifatnya makro. Di antaranya, gangguan kesehatan mental terjadi karena nilai-nilai dan budaya kehidupan saat ini mengalami perkembangan globalisasi serta dampak negatif dari media sosial.


Saat ini, lanjut Lulu, merupakan era kehidupan yang terbuka dan mudah dalam memperoleh informasi. Kehidupan berjalan dengan cepat dan efisien.


“Namun di sisi lain, ada kecemasan-kecemasan yang muncul karena kita secara otomatis melakukan pembandingan kondisi diri dengan yang kita amati di media sosial. Ini dapat menggerus tingkat harga diri kita, yang padahal merupakan fondasi penting dalam kesehatan mental,” ujar Lulu kepada NU Online pada Selasa (6/8/2024).


Ia menambahkan, saat ini umat manusia di dunia mengalami paradoks kehidupan akibat media sosial. Seseorang akan lebih terhubung dengan orang lain yang jaraknya jauh daripada orang atau lingkungan setempat. Padahal lingkungan terdekat merupakan sumber dukungan hidup untuk mendapatkan kehangatan dan keramahtamahan hubungan. Manusia menjadi individualistis, tidak peduli dengan orang lain.


“Nah, ketika kita sedang merasa terimpit, tidak dapat mengandalkan diri sendiri, kita kemudian merasa sangat putus asa karena merasa tidak ada lagi yang dapat kita andalkan. Rasa putus asa ini berpotensi mengarah pada ide-ide bunuh diri,” jelas Lulu.


“Maka, perlu sekali kita meninjau iklim kehidupan sosial dewasa ini. Nilai-nilai tradisional yang kita miliki tentang kebersamaan, nuansa solidaritas, dan lain sebagainya perlu dihidupkan lagi,” tambahnya.


Pembina Program Tahfidul Qur’an PPP Al Fathimiyyah Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang itu kemudian memberikan berbagai upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi gangguan kesehatan mental.


1. Tinndakan preventif dari pemerintah

Menurut Lulu, untuk mengatasi gangguan kesehatan mental, hal pertama yang dilakukan adalah adanya tindakan nyata dari pemerintah berupa tindakan preventif. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang bersifat radikal untuk mendukung kesehatan mental masyarakat.


“Ini misalnya kurikulum. Selain pendidikan karakter, kurikulum yang mendorong kemampuan sosial juga penting diupayakan,” ujarnya.


2. Upaya intervensi pemerintah

Pemerintah perlu memastikan masyarakat mudah mengakses tenaga kesehatan mental profesional. Adanya psikolog di puskesmas merupakan upaya strategis pemerintah.


3. Upaya promosi

Pemerintah dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan dan regulasi dituntut untuk mengembangkan sistem informasi dan edukasi kesehatan mental yang mudah diakses dan dikenali masyarakat.