Sopir Truk Gelar Aksi Nasional di Jakarta Besok, Tolak Jadi Tumbal Kebijakan Zero ODOL
NU Online · Selasa, 1 Juli 2025 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Sebanyak 500 sopir dan buruh transportasi dari berbagai organisasi pengemudi akan menggelar Aksi Nasional di Jakarta pada Rabu (2/7/2025) besok. Aksi ini digelar untuk menolak rencana kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (ODOL) yang dinilai tidak menyelesaikan akar persoalan dan justru mengorbankan para sopir sebagai pihak yang paling rentan.
Para sopir pengemudi yang akan turun aksi itu tergabung dalam Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) yang merupakan bagian dari Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Konfederasi Sarbumusi), bersama beberapa organisasi pengemudi lainnya seperti Aliansi Perjuangan Pengemudi Nusantara (APPN), Konfederasi Sopir Logistik Indonesia (KSLI), Asosiasi Sopir Logistik Indonesia (ASLI), dan Aliansi Pengemudi Angkutan Barang Indonesia (APABI).
Penanggung jawab aksi yang juga Ketua Umum RBPI Ika Rosdianti menyampaikan bahwa kebijakan Zero ODOL yang tengah dirancang pemerintah melalui Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko IPK) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) diklaim untuk penguatan logistik nasional.
Ika mengatakan bahwa pemerintah berdalih, truk ODOL menjadi pemicu kecelakaan di jalan serta penyebab kerusakan jalan yang membuat negara merugi. Narasi serupa juga digaungkan oleh pejabat tinggi di Kementerian Perhubungan dan DPR RI.
Menurut Ika, dalam persoalan ODOL pemerintah dan parlemen cenderung memposisikan sopir atau pengemudi sebagai pelaku tunggal sehingga menjadi pihak yang paling patut disalahkan.
Ia menilai, rencana kebijakan Zero ODOL ini hendak menjadikan sopir atau pengemudi sebagai tumbal kebijakan tanpa secara bijak mengurai persoalan struktural maraknya praktik ODOL dalam industri transportasi nasional.
“Terkait ODOL, para sopir atau pengemudi yang dalam rantai produksi transportasi merupakan kelas buruh/pekerja, pada kenyataannya tidak dalam kapasitas bernegosiasi soal volume atau tonase muatan truk. Hal ini karena sebagian besar pemberi kerja menerapkan sistem borongan. Bahkan fenomena borongan ini bukan hanya terjadi pada pemberi kerja perorangan, melainkan juga perusahaan atau badan hukum formal,” ujar Ika dalam keterangan pers yang diterima NU Online, pada Selasa (1/7/2025).
Ika juga menilai, pemerintah dan DPR seperti hendak menutup mata bahwa sesungguhnya sopir atau pengemudi adalah pihak yang paling dirugikan dalam mata rantai produksi transportasi, karena merekalah yang paling merisikokan keselamatannya, dan harus siap dipersalahkan, bahkan dikriminalkan.
“Para sopir atau pengemudi sejatinya telah dan sedang mengalami opresi struktural dan relasi kuasa yang tidak seimbang dalam sistem ekonomi republik ini,” tegasnya.
Ika menyebut bahwa kencangnya wacana Zero ODOL menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola industri dan ekosistem transportasi nasional sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun menurutnya, para pembantu presiden gagal menerjemahkannya. Hal ini tercermin dari upaya menempatkan sopir atau pengemudi sebagai pihak yang patut dipersalahkan.
“Para pembantu presiden seperti hendak melupakan bahwa selain sistem ekonomi yang kooptatif, ODOL menjadi marak juga karena kronisnya budaya koruptif di lingkungan aparatur negara,” jelas Ika.
Ia memaparkan beberapa contoh masalah struktural yang melanggengkan praktik ODOL, di antaranya:
Pertama, penegakan hukum yang tebang pilih
Pemeriksaan kendaraan di karoseri dan uji Kelayakan Kendaraan Bermotor (KIR) sudah dinyatakan lolos, namun ketika truk sudah dioperasikan malah ditindak oleh aparat penegak hukum. Seharusnya jika di karoseri dan uji KIR sudah dinyatakan lolos maka tidak ada lagi kendaraan yang terjaring razia. Sistem razia seperti ini memaksa sopir atau pengemudi untuk menyisihkan sebagian penghasilan demi memberikan kepada oknum. Sebagai lapisan terbawah dari piramida ekonomi transportasi, sopir atau pengemudi adalah pihak yang mendapat cuilan paling kecil dari kue transportasi dan harus digerogoti oleh “tikus-tikus” birokrasi.
Kedua, premanisme yang merajalela
Beban berat sopir atau pengemudi yang sudah mendapat potongan paling kecil dari kue ekonomi transportasi harus ditambah lagi dengan biaya premanisme yang tinggi. Sudah menjadi rahasia umum, jalanan yang menjadi medan ekonomi transportasi adalah rimba raya bertumbuhnya penyamun berkedok organisasi massa. Kehadiran mereka diketahui negara, bahkan publik pun tahu praktik premanisme ini merajalela. Namun, para elit di negara ini seperti menutup telinga, mata, dan hati, bahkan sengaja memberikan ruang tumbuh bagi mereka. Padahal, premanisme adalah parasit ekonomi.
Ika menegaskan bahwa alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa praktik ODOL di industri transportasi adalah persoalan struktural yang melibatkan opresi ekonomi, ketimpangan relasi kuasa dalam rantai transportasi, ketidakadilan kebijakan dan penegakan hukum, serta carut-marut regulasi yang menempatkan sopir atau pengemudi sebagai pihak yang paling layak disalahkan bahkan dikriminalkan.
“Pemerintah dan DPR sepertinya lupa bahwa dunia transportasi, terutama logistik, terkait erat dengan sektor UMKM. Barang yang diangkut sebagian besar dari sektor UMKM, dan ada persentase signifikan pengusaha transportasi yang merupakan usaha kelas UMKM. Apabila kebijakan Zero ODOL diterapkan secara gegabah, justru akan mematikan ekosistem ekonomi transportasi yang menjadi penyumbang signifikan PDB dan penopang utama sektor manufaktur serta pangan kita,” ujarnya.
Ika menilai bahwa kebijakan Zero ODOL yang diterapkan tanpa pertimbangan matang bukan hanya akan mematikan pelaku transportasi kelas UMKM, tetapi juga membuat ekonomi produksi semakin berbiaya tinggi yang pada akhirnya akan mendorong melonjaknya harga komoditas dan menggerus daya beli masyarakat.
“Di tengah lesunya situasi ekonomi global dan nasional saat ini, kebijakan Zero ODOL yang gegabah dipastikan akan meningkatkan pengangguran di Indonesia. Para pembantu presiden gagal menerjemahkan poin keempat dari Asta Cita, yakni meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur,” jelas Ika.
“Kami memohon maaf dan permakluman dari khalayak luas yang barangkali akan terdampak dari aksi nasional tersebut,” pungkas Ika.
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
3
Cerita Pasangan Gen Z Mantap Akhiri Lajang melalui Program Nikah Massal
4
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
5
Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?
6
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
Terkini
Lihat Semua