Nasional HUT KE-77 RI

Ternyata Nama Indonesia Lebih Dulu Ada Sebelum Kemerdekaan

Rabu, 17 Agustus 2022 | 14:30 WIB

Ternyata Nama Indonesia Lebih Dulu Ada Sebelum Kemerdekaan

Ternyata Nama Indonesia Lebih Dulu Ada Sebelum Kemerdekaan

Jakarta, NU Online 
Nama Indonesia ternyata ada jauh sebelum kemerdekaan dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Bahkan kemerdekaannya, telah diprediksi 71 tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan secara resmi oleh Ir Soekarno. 


Melansir artikel berjudul “Tiga Ulama yang Memprediksi Kemerdekaan Indonesia” di situs NU Online. Prediksi pertama dinyatakan oleh KH Abdus Syakur Senori Tuban (wafat 1359 H/1940 M), yang dikenal sebagai teman akrab Pendiri Nahdlatul Ulama KH M Hasyim Asy’ari. 


Prediksi itu tertaut dalam syair yang ia buat tentang kedatangan tentara Jepang dan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 M/1365 H. Padahal lima tahun sebelum merdeka, Mbah Syakur sudah wafat.

 

Prediksi kedua datang dari Syaikh Ibrahim bin Husain Buengcala Kuta Baro Aceh. Pada tahun 1288 H/1871 M, Syaikh Ibrahim menyatakan: “Negeri di bawah angin (Nusantara) istimewanya akan lepas daripada tangan Holanda (Belanda), sesudah China bangsa Lukid (mata sipit, maksudnya bangsa Jepang). Maka Insyaallah ta’ala pada tahun 1365 H (1945 M) lahir satu keajaan yang adil dan bijaksana dinamakan al-Jumhuriyah al-Indunisiyah yang sah”. 


Yang terakhir, sebuah isyarat datang dari KH Chasbullah Sa’id Jombang (ayahanda KH Abdul Wahab Chasbullah). Dalam isyarat itu tertulis pesan singkat, yaitu; hurrun tammun, artinya kemerdekaan yang sempurna، yang ia tulis di menara Masjid Pondok Induk (Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, ditutupi dengan kain satir. 


Prediksi tersebut tidak terlepas dari keilmuan dan kealiman ketiga tokoh ulama NU tersebut. Tiga sosok ulama yang memiliki ilmu kasyaf ini patut untuk dijadikan ibrah (pelajaran) bahwa para kiai sangat peduli dalam proses perjuangan bangsa Indonesia. 


Karena ilmu yang dimiliki oleh kiai lebih banyak agama, maka proses keagamaan itu yang menjadi dominan dilakukan. 


Semangat dalam membaca tanda alam dan isyarat dari Allah itulah yang selalu diasah. Sehingga wajar bila para kiai sudah memberikan prediksi tentang kondisi bangsa ini jauh hari sebelum kemerdekaan.

 

Penyebutan nama Indonesia


Melansir Harian Kompas terbit 2 September 1974, penyebutan nama Indonesia, bermula ketika George Samuel Windsor Earl menulis artikel panjang pada tahun 1847 di Journal of The Indian Archipelago and Eastren Asia berjudul, “Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia".


Dalam tulisannya, Earl membahas kehidupan penduduk asli Australia dan Melayu-Polinesia. Ia juga mengusulkan istilah Indu-nesians dan Malayunesians bagi penduduk kepulauan Hindia. Namun di antara keduanya Earl lebih memilih istilah Malayunesians. Lantaran istilah Indu-nesians terlalu luas cakupannya hingga Kepulauan Maladewa.


Pada tahun 1850, dalam majalah ilmiah yang sama, nama Indonesia juga disebut oleh James Richardon Logan dalam tulinnya yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Inquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders”. 


Berbeda dengan Earl, peneliti berkebangsaan Skotlandia ini justru lebih menyukai nama Indonesia yang merupakan sinonim dari pulau-pulau atau Kepulauan Hindia.


Terlepas dari dua sejarah tadi, cikal bakal nama Indonesia mulai menggaung dengan lantang pada tahun 1924 lewat majalah Indonesia Merdeka, yang menjadi corong Perhimpunan Indonesia di bawah komando Iwa Koesoema Soemantri, J Sinatala, Mohammad Hatta, dan Mengoenkoesoemo.


Dalam majalah itu, mereka menjelaskan bahwa pemakaian nama Indonesia memberikan ciri pada kepribadian. Pada tahun 1926, dalam Kongres Gerakan Perdamaian Internasional di Paris, Perancis, Mohammad Hatta mulai memperkenalkan Indonesia kepada dunia internasional seraya meyakinkan mereka mengenai  keberadaan Indonesia baik secara geografis maupun secara politis.


Selanjutnya nama Indonesia berkumandang dalam Kongres Anti Penindasan Imperialisme dan Kolonialisme di Brussel, Belgia pada 10-15 Februari 1927. Nazi Datuk Pamuntjak perwakilan dari Perhimpunan Indonesia berpidato dengan judul "Indonesie en de Vrijheid-strijd" (Indonesia dalam Perjuangan Kemerdekaan).


Dalam surat kabar De Socialist Nomor 10 tahun 1928, Mohammad Hatta menulis sebuah artikel yang berjudul “Tentang Nama Indonesia" yang membahas tentang penggunaan nama Indonesia yang menggantikan nama Hindia Belanda.


"Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik, karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia Belanda, melainkan kemerdekaan Indonesia dari Indonesia (Indonesisch Indonesie),” tulis Mohammad Hatta sebagaimana terarsip dalam artikel tersebut.

 

“Mustahil negara Indonesia merdeka yang akan datang disebut Hindia Belanda. Juga tidak India saja karena akan dikacaukan dengan India yang lain, yaitu nama resmi dari India Inggeris sekarang,” demikian lanjutan bunyi artikel yang ditulis Mohammad Hatta.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin