Opini

Film Berkat Tuhan: Membungkus Kerukunan Umat Beragama dengan Komedi

Rabu, 16 November 2022 | 19:00 WIB

Film Berkat Tuhan: Membungkus Kerukunan Umat Beragama dengan Komedi

Salah satu scene dalam film pendek Berkat Tuhan yang tayang di Youtube NU Online.

Perkara hubungan agama hampir selalu sensitif untuk disinggung. Kata-kata yang berkonotasi negatif siap-siap meluncur dan menjadi stempel bagi orang yang bertindak dalam persinggungan itu, mulai bid’ah hingga haram. Bahkan, ada yang lebih jauh dari itu menyebut kafir.


Hal ini pula yang dialamatkan Wati kepada Hendro, suaminya, dalam film Berkat Tuhan. “Makanan seko (dari) orang kafir kuwi (itu) haram hukume (hukumnya),” kata Wati kepada Hendro.

 

Begitulah mula konflik dalam film tersebut. Dari situ, Wati memunculkan prasangka-prasangka yang tidak berdasar, mulai cara masak yang tidak Islami, tuduhan pilihan catering dari orang kafir, hingga program kristenisasi.


Jembatan toleransi

Film hasil kerja sama antara NU Online, Fixinema, serta didukung penuh oleh Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama ini menyajikan fenomena sikap intoleransi yang ada. Data Komnas HAM, sepanjang tahun 2016, menunjukkan adanya peningkatan kasus intoleransi atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas HAM, tercatat sedikitnya ada 97 kasus. Data ini meningkat karena pada tahun 2014 hanya tercatat 76 kasus dan 87 kasus pada tahun 2015.


Data di atas menggambarkan bahwa masih terdapat masyarakat yang belum menanamkan sikap toleransi antarumat beragama, sehingga dibutuhkan pemahaman bahwa sikap toleransi antarumat beragama di berbagai lapisan masyarakat yang berbeda latar belakang, baik itu etnis, budaya, maupun agama itu sangat penting.


“Hal ini guna menghindari potensi-potensi gesekan yang terjadi,” katan Executive Producer film Berkat Tuhan Zunus Muhammad.


Ia menyampaikan bahwa film pendek ini dilahirkan dalam rangka membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya bertoleransi sebagai sesama umat beragama. Sikap dan kesadaran ini perlu untuk selalu dijaga.


“Kemampuan potensi media film dalam konstruksi pesan, sudah banyak bermunculan film pendek yang bernuansa dakwah. Pesan dakwah merupakan pesan agama yang universal. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa dakwah merupakan proses yang berjalan secara holistik. Inilah yang menjadikannya film punya sisi menarik, unik, dan berkesan ketimbang media komunikasi massa lainnya.


Senada, Sutradara Ahmad Faishol juga menyampaikan bahwa film yang digarap selama kurang lebih satu bulan ini dibuat sebagai jembatan untuk menghubungkan toleransi antarpemeluk agama. Sebab, menurutnya, semua film dibuat karena adanya isu sensitif. Sementara sensitifitas itu lahir karena perbedaan pendapat, visi, misi antara golongan A dan B, agama A dan B, budaya A dan B. 


“Di film ini, ada agama Islam dan Kristen. Yang kita bahas cukup sederhana, melalui makanan orang Kristen untuk orang Islam,” katanya.


Mengutip Jeihan Angga, gurunya, Faishol mengatakan, ada dua cara paling ampuh guna memengaruhi penonton, yaitu komedi dengan efek tawa dan horor dengan efek menakutkan. Ia menjatuhkan pilihan pada komedi ini karena ketidakinginan membawa penonton kepada ketakutan atau kengerian. Baginya, itu sama dengan menyebarkan Islam dengan peperangan. Melalui komedi, ada pesan mendalam yang bisa diselipkan agar penonton merasa semuanya happy, tidak ada kemarahan atau kesedihan.


“Komedi pilihan sangat tepat untuk menyampaikan sesuatu agar sangat mudah diterima dan tidak ada pihak yang marah,” katanya.


Komedi yang tak pernah gagal

Perdebatan dimulai dengan pernyataan sang istri yang mengharamkan berkat dari orang Kristen. Kemudian, prasangka yang tak berdasar dilontarkan Wati. Di sini letak kejelian pengarahan cerita ini. Prasangka-prasangka itu dijawab oleh anaknya dengan gaya polosnya sehingga menimbulkan kontras yang mengandung tawa bagi penontonnya.


Misalnya dalam perdebatan awal, anak pasangan suami istri itu menjawab dengan lugas. “Halal kok. Yang buat Pak Khamdi,” katanya sembari menunjukkan tutup nasi kotak yang masih terdapat labelnya itu.


Permasalahan semakin kompleks manakala Wati menunjukkan sebuah video yang berisi keharaman pengucapan selamat natal. Merespons itu, Hendro mengajukan pertanyaan yang dimaksudkan untuk menyangkal karena ketiadaan korelasi antara video dan persoalan yang tengah mereka perdebatkan, yaitu soal makanan. “Apa hubungannya dengan nasi berkat ini?” katanya.


Wati mempertanyakan selametan yang dilakukan. Tentu saja sebagai orang Kristen, Imanuel mengadakan dengan cara mereka. Sementara Hendro hanya hadir saja tanpa mengikuti prosesi ritualnya.


Sepasang orang tua, pak RT, dan pemuda sibuk memperdebatkan masalah itu yang tidak menghasilkan solusi, justru tambah runyam. Saling mempertahankan pendapat dengan merasa paling benar dan yang salah membuat mereka lupa, bahwa mereka belum shalat Maghrib. Padahal sedari Hendro tiba di rumahnya, tarhim menjelang Maghrib sudah mengudara dari pengeras suara masjid terdekat.


Konflik itu memuncak manakala Arka, anak, teriak kelaparan karena saking lamanya menunggu kebolehan untuk memakan berkat tersebut. “Lapaaar!” teriaknya.


Lebih dari itu, anak yang sedemikian lama menantikan perdebatan itu, sudah melaksanakan shalat lebih dahulu. Ketika mereka teringat akan kewajiban shalat itu, malah sudah masuk waktu Isya. Hal itu juga diberitahu oleh sang anak. “Ora usah, Bu. Wis Isya,” katanya berbarengan dengan suara adzan Isya. Jarum panjang jam dinding pun menunjuk angkat tujuh guna menegaskan masuknya waktu Isya.


Sontak orang-orang yang berdebat itu buru-buru hendak shalat. Sementara Arka langsung melahap makanan yang sedari tadi diperdebatkan orang tuanya.


Apapun masalahnya, komedi bisa menjadi pilihan solusinya. Menertawakan keadaan bisa menjadi refleksi yang paling natural dan bisa diterima seluruh kalangan tanpa terkecuali. Sebab, tertawa memang menumbuhkan rasa bahagia sehingga rona-rona positif bermekaran.

 

Dengan begitu, manusia bisa menjadi lebih rileks dalam bersikap. Sebagaimana diungkapkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, bahwa humor adalah senjata ampuh guna memelihara kewarasan orientasi hidup masyarakat. Secara psikologis juga, orang akan lebih cair dan menerima pesan yang hendak disampaikan.


Begitulah yang memang ditampilkan film Berkat Tuhan. Bahasa orang masa kini, yang intoleran jadi ‘kena mental’ melalui film ini. Perubahan sikap lebih toleran tentu sangat diharapkan dari lahirnya film ini.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad