Opini

Teladan Nabi dari Meja Makan

Rabu, 11 September 2024 | 12:30 WIB

Teladan Nabi dari Meja Makan

Meja makan (Ilustrasi: craiyon.com)

Nabi adalah insan pokta, terbaik di semua peringkat dan sisinya. Demikianlah pengetahuan umum yang diyakini oleh masyarakat Muslim. Beruntung mereka memiliki Nabi yang menjadi referensi bagi semua kebaikan dan tindakan apa pun yang akan mereka lakukan, mulai yang terbesar hingga yang terkecil, dari masalah iman hingga urusan makan. 


Di sini, akan dibahas persoalan makan saja, urusan terdekat dengan mulut dan perut, hal mendasar yang paling dekat dengan syahwat. Urusan iman biar dibahas oleh ahlinya. Urusan hadits biar dibahas oleh pakarnya saja.  


Terkait makanan, kita akan menemukan alasan pada cara Nabi mengajarkan kita menghadapi makanan, bersyukur kepada Allah atas karunia makanan, mendoakan orang yang memberi makan, berdoa sebelum makan, tata cara makan, memuji makanan, serta sekian banyak tata cara lain terkait makan dan makanan.


Sementara itu, Maulid Nabi adalah salah satu perayaan yang menjadi momentum terbaik umat untuk membaca shalawat sekaligus memuji dan berbagi kisah perihal kelahiran manusia terbaik yang semua sifat, perkataan, dan tindakannya dapat diteladani. Akan tetapi, jika Maulid disandingkan dengan makanan, yang mengemuka adalah ironi. Justru di momen sakral dan indah Maulid Nabi itulah kita melakukan hal-hal yang profan dan kasar. 


Dalam menyambut dan merayakan Maulid Nabi, masyarakat berani habis-habisan, mengerahkan tenaga dan hartanya demi kemegahan dan kemewahan acara. Di Madura, Lombok, dan mungkin di tempat lain, Anda bisa mendapatkan contohnya.  


Acapkali, seorang mubaligh didatangkan untuk menyempurnakan acara, bertugas menyampaikan teladan-teladan Rasul agar hadirin menirunya. Teladan-teladan itu biasanya digambarkan dalam bentuk sirah perjuangan berat yang beliau rintis di masa Jahiliah sehingga kita merasa berutang budi dalam mencintainya. Di antara teladan lainnya adalah teladan kesederhanaan sekaligus kekuatannya, ketawadukan sekaligus keagungannya, tapi sedikit saja yang mengungkit-ungkit teladan beliau di meja makan. 


Kita tahu, perayaan Maulid Nabi itu juga identik dengan hidangan dan makanan.  Di Madura khususnya, hidangan Maulid akan lebih mewah daripada acara lainnya. Beseknya besar. Uang yang digelontorkan banyak, bahkan hadirin terkadang juga diberi sangu sebelum pulang. Tapi, apa yang terjadi? Di tempat itu, di tempat yang sama, di saat orang-orang baru saja menyanjung Nabi, di saat itu pula, tak lama sesudahnya, mereka melakukan hal-hal yang justru tidak diajarkan bahkan dilarang oleh Rasul, sesosok insan mulia yang mereka terkadang sampai histeris saat menyebut namanya. Apa ini namanya jika bukan ironi manusia?


Bagaimana kita membaca larik-larik Ad-Daybai, seperti ungkapan “ya Habibi” yang bermakna “kekasihku” untuk Nabi Muhammad, namun beberapa menit berikutnya, kita melanggar dan mendustakan harapan-harapan dan keinginan dari Sang Kekasih tersebut agar kita menurutinya? Bukankah kekasih itu adalah dia yang kepadanya kita memuji, kepadanya kita mencurahkan rasa cinta, dan kepadanya kita selalu menunduk untuk menyenangkan hatinya dengan cara memenuhi harapan dan keinginannya? 


Mari kita lihat sedikit saja tindakan dan anjuran Nabi terkait adab di meja makan. Barangkali, dari situ kita bisa memulai meneladan, mencontoh hal-ihwal dari yang paling mungkin dan paling ringan.


Pertama, Nabi mengajarkan kita berdoa sebelum makan. Doa yang paling ringkas adalah basmalah. Saat menghadapi hidangan, kita dianjurkan untuk berdoa sejenis  بسم الله الرحمن الرحيم اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ atau dengan redaksi yang sedikit berbeda. Lebih dari itu, ada anjuran agar suara sedikit diangkat ketika berdoa dengan harapan menjadi pengingat bagi teman makan, mana tahu mereka lupa untuk berdoa. Ada pula larangan mencela makanan dengan solusi cukup tidak menyentuhnya jika kita tidak suka.


Kedua, setelah acara makan selesai, kita dianjurkan untuk berdoa atas karunia makanan dan mendoakan orang yang telah memberi makan. Kurang lengkap apa dalam Islam? Semua ada dan semua terperinci. Kita saja yang suka membesarkan hal-hal besar tapi lupa pada remeh-temehnya. 


Ketiga, anjuran berikutnya adalah—dan ini yang prinsip—perintah untuk menyuap dengan tiga jari (sedikit demi sedikit), lalu mengunyah hingga kurang lebih 33 kali kunyahan (banyak mengunyah), lalu membersihkan sisa makanan (tidak mubazir) dengan cara membersihkan remah di piring atau dan menjilati jari-jemari di tangan.


Ajaran membersihkan sisa-sisa makanan ini ada dasar filosofisnya. Mestinya, Muslim mempedulikan ini dan tentu saja melakukannya karena landasan keimanan, menjalankan perintah ansich, bukan sekadar karena tahu argumen Hiromi Shinya (dalam The Miracle of Enzyme) yang menyatakan bahwa enzim melimpah pada jemari pada saat kita makan; enzim meluber di dalam mulut pada saat kita banyak mengunyah, juga bukan karena terpapar iklan ayam goreng dari seorang kakek berdasi kupu-kupu yang mengekspresikan kelezatan resepnya dengan cara menjilati jari-jemarinya.


Selain di acara buka puasa, di bulan Maulid, di setiap perayaannnya, kita selalu melihat limbah makanan yang berserakan, begitu banyaknya. Data-data menyedihkan tersiar, bahwa kita yang religius adalah salah satu bangsa yang paling bar-bar dalam urusan membuang-buang makanan sehingga pemubaziran pangan (foodloss) mencapai angka 9,3 juta ton per tahun. Angka ini adalah 27 % dari total konsumsi beras masyarakat. Anda tidak perlu mencari data dan sumber rujukan ini. Jika angka-angka tersebut dianggap hiperbolis, silakan diturunkan beberapa digit prosentasenya sambil lalu mengamati lingkungan sekitar pada saat Anda makan bersama rekan, kolega, atau bersama undangan yang lain di acara yang dimaksud atau bahkan pada saat-saat jam makan siang di warung. 


Dalam buku Merusak Bumi dari Meja Makan, di situ diulas betapa banyak jejak karbon yang harus dikuras dari sebutir beras hingga ia tiba di meja makan, mulai dari benih, air yang dihabiskan untuk pertumbuhan, banyak energi, banyak bahan bakar untuk pengangkutan, banyak listrik dan gas untuk proses masak-memasak sebelum ia tiba di meja makan dan pada akhirnya disia-siakan.


Jika dirangkum, jejak karbon yang berimplikasi pada polusi, polutan, dan limbah yang lain tersebut akan tergambar dalam Hadits Qudsi yang berbunyi:

 
، يروى عن الله أنه قال لبعض أنبيائه: إذا سُقت إليك حبة مسوَّسة فاعلم أني قد ذكرتك بها فاشكرني عليها. 


(Allah swt berfirman kepada beberapa nabi-Nya: “Apabila Aku memberikan sebutir biji bahkan yang berulat sekalipun, ketahuilah bahwa sesungguhnya Aku masih mengingatmu. Maka, bersyukurlah kepada-Ku”. Egoisme manusia dalam dan pada makanan juga dapat ditemukan pada pernyataan retoris Allah di dalam Al-Waqiah ayat 64, “Engkaukah yang menumbuhkan atau Kami-kah yang menumbuhkan?”


Sejujurnya, begitu sederhana cara kita untuk meneladan akhlak Nabi dalam hal makan dan makanan, tapi begitu berat kita melakukannya. Di saat kita merayakan Maulid Nabi, perayaan atas kelahiran orang yang disebut-sebut sebagai “Kekasih”, mari kita tanyakan, apakah kita termasuk di antara mereka yang menyatakan cinta sekaligus ingkar pada ajarannya, bahkan pada momen sebelum kita pindah tempat dari majlis yang sama? 

 

M. Faizi adalah penyair, esais, penulis buku Merusak Bumi dari Meja Makan